Senin, 21 Mei 2012

FIQIH JINAYAT


2.1  Pengertian Fikih Jinayah
            Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau  paham. Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci.[1]
            Adapun jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.[2] Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya.[3]
            Menurut istilah fiqih, jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terhadap hak Allah atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang di mana orang yang melakukan wajib mendapat/ diberi hukuman yang sesuai baik dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain di sebutkan bahwa jinayah adalah perbuatan dosa besar atau kejahatan  (pidana/ kriminal) seperti membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan seseorang.[4] Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada nash al-Quran antara lain adalah    
             Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah 179)

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka dhsebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah 49)

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ 65)

            Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fikih jinayah itu adalah ilmu yang membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Pengertian fikih jinayah (hukum pidana islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia). Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.[5]
            Namun antara hukum pidana islam dengan hukum positif tetap ada perbedaan diantara keduanya, diantaranya adalah:
a)      Hukum pidana islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur, sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak akan selalu dicela dan diancam dengan hukum islam.
Sedangkan hukum positif, atau yang dikenal dengan undang-undang hanya mengarah pada apa yang menyebabkan kerugian secara langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat, dan tidak mengarah pada akhlak atau budi pekerti, sehingga jika tidak menimbulkan kerugian secara langsung, walaupun bertentangan dengan akhlak maka itu tidak dianggap tindakan pidana.
b)      Hukum positif (undang-undang) merupakan buatan/ produk manusia, sedangkan hukum pidana islam bersumber dari Allah (wahyu) yang ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-sunah, yaitu jarimah hudud dan jarimah qisash. Ada pula hukum yang diserahkan kepada ulil amri, yaitu jarimah ta’zir dengan berpedoman Al-Qur’an dan Al-Hadis.
            Dalam konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah secara bahasa (etimologi) adalah melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama).[6] Sedangkan menurut istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan oleh imam Al Mawardi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Ø  Pembunuhan ada tiga cara:
1.      Betul-betul disengaja, yaitu dikakukan oleh yang membunuh guna membunuh orang yang dibunuhnya itu dengan perkakas yang biasanya digunakan untuk membunuh orang . Seperti membunuh dengan menembak, melukai dengan alat yang tajam, memukul dengan alat-alat yang berat, dan alat-alat yang lain. Membunuh dengan memasukkan dalam sel yang tidak ada udaranya, disekap dalam es, Membunuh dengan diberi racun, diberi obat yang tidak sesuai, disuntik dengan obat yang bisa mematikan, Membunuh dengan dibiarkan tidak diberi makan, minum dll. Pembunuhan yang disengaja tersebut wajib diqishash, Hukum ini wajib diqisas. Berarti di wajib dibunuh pula, kecuali apapbila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh denhgan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.
      Allah memberikan hukuman yang begitu besar guna menjaga keselamatan dan ketentraman umum. Dengan berhentinya perbuatan yang buas itu umat manusia akan hidup sentosa, aman, dan tenteram.
      Firman Allah SWT:

Artinya: “ Dan da;am qisas itu ada (jamiman kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (Al Baqarah: 179)
      Di pertegas dengan hadits rasulullah, ‘’Tidak halal (haram) membunuh orang muslim, kecuali ada (salah satu) 3 sebab : kafir sesudah iman, berzina sesudah kawin dan membunuh orang tanpa hak, baik karena dhalim dan permusuhan. (HR. Tirmidzy dan Nasaâ’i)
      Orang yang membunuh tanpa ada hak, harus diqishash, harus dibunuh juga. Kalau ahli waris (yang terbunuh) memaafkan pembunuhan tersebut, pembunuhan tidak diqishash (dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyah yang besar, yaitu harus membayar dengan seharga 100 ekor unta tunai, pada waktu itu juga. Hal ini selaras dengan hadits rasulullah, ‘Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan pada keluarga terbunuh. Apabila mereka mengkehendaki maka membunuhnya atau minta diyah dengan 30 ekor unta hiqqah, 30ekor unta jadzaâ’ah dan 40 ekor unta khalafah (jumlahnya 100 ekor unta). Hasil perdamaian itu untuk mereka (ahli waris si terbunuh). Demikian itu untuk memperkeras terhadap pembunuhan. (HR. Tirmidzi)
2.      Ketidaksengajaan semata-mata. Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak disangka  akan kena pada orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang jatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya itu mati. Contoh orang memukul orang lain dengan sapu lidi kemudian yang dipukul mati. Pembunuhan tidak sengaja tidak kena hukuman qishash tetapi pembunuhnya harus membayar diyat besar,
      Hukum pembunuhan yang tak disengaja ini tidak awajib qisas, hanya wajib membayar denda (diyat) yang ringan. sebagaimana diyat bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan ahli waris terbunuh. Diyat itu boleh dibayar selama 3 tahun dengan angsuran setiap tahun 1/3-nya.
Firrman Allah SWT:

Artinya:” Dan barang siapa membunuh seorang mukminkarena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga si terbunuh itu,” (An Nisa: 92).
      Dalam ayat tersebut diwajibkan diyat (denda), bukan qisas.
Seperti sengaja, yaitu sengaja memukul orang, tetapi dengan alat yang ringan (biasanya tidak untuk membunuh orang). Misalnya orang melempar batu ke hutan tiba-tiba orang mati terkena batu tersebut. Orang membunuh orang lain tidak sengaja, wajib memerdekakan seorang budak mu’min adil. Dalam hal ini tidak wajib pula qisas, hanya diwajibkan membayar diyat (denda) yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.[7]

2.2  Fungsi dan Tujuan diterapkannya Hukuman
            Hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat serta melindungi kepentingan individu.
            Adapun tujuan Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat islam adalah sebagai berikut:
a. Pencegahan
  :          Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut dan menahan orang lain untuk tidak berbuat jarimah serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
            Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut., tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabila kondisinya demikian maka hukuman yang diberikan (terutama hukuman ta’zir ), dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat jarimah yang diperbuat.[8]

b. Perbaikan dan Pendidikan
             Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia berubah menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapat ridha Allah. Kesadaran yang demikian keadaanya tentu merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena seseorang sebelum berbuat jarimah ia akan berfikir bahwa Tuhan tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya baik di dunia maupun diakherat, baik perbuatannya itu diketahui orang atau tidak.[9]
            Sehingga dari ini dapat merubah atau memperbaiki akhlak manusia yang semula tidak terpuji menjadi akhlak yang terpuji atau luhur .

2.3  Macam-Macam Jinayah
             Pada dasarnya dan yang ditinjau dari segi barat ringannya hukuman, jinayat dibagi menjadi 3, yaitu:
A.    Qishos (pembalasan) dan Diat (denda)
            Kata qishash berasal dari bahasa Arab “qashasha” yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja “ قص, يقص, قصاص”. Ditinjau dari segi bahasa, kata itu berarti memotong, mengerat dan mengikuti jejak .
Sedangkan ditinjau dari istilah fiqh adalah: “Qishash adalah pelaksanaan hukuman bagi pelaku pelanggaran sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya, baik menyangkut jiwa manusia atau anggota-anggota badan lainnya”.[10] Jadi, qishash dapat dibatasi sebagai akibat hukum karena seseorang melakukan kejahatan berupa penghilangan nyawa atau melukai anggota tubuh orang lain, hingga padanya diancam hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukannya
Ø  Dasar Hukum Qishash
Al-Jaziri menerangkan bahwa hukum qishash ditetapkan oleh kitabullah, Hadits Rasul dan Ijma’. Pertama dasar hukuman Qishash dari Al-Qur’an yaitu:).
1.      Al- Maidah ayat 45 sebagai berikut:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At$ Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S Al- Maidah ayat 45)
Ø  Pembagian Qishash
            Pembagian qishas di bagi menjadi dua yaitu: (1) Qishash Jiwa (2) Qishash selain jiwa atau qishash anggota badan (termasuk pelukaan)[11].
a. Qishash Jiwa
            Tidak setiap tindakan kekejaman terhadap jiwa membawa konsekuensi qishash. Karena tindak kekejaman itu ada yang disengaja, menyerupai sengaja dan adakalanya kesalahan. Qishash jiwa hanya dikenakan pada kasus pembunuhan yang disengaja.
b. Qishash Selain Jiwa
a)      Qishash selain Jiwa mempunyai syarat sebagai berikut:
b)      Pelaku berakal;
c)      Pelaku Sudah mencapai umur baligh;
d)     motivasi kejahatan disengaja;
e)      hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukainya.
c. Qishash selain jiwa ada dua macam,
1. qishash terhadap anggota tubuh
2.  qishash terhadap luka-luka.
Qishash pada anggota tubuh yang wajib diqishash adalah setiap anggota badan yang mempunyai ruas (persendian) yang jelas seperti siku dan pergelangan tangan.adapun anggota tubuh yang tak bersendi tidak dikenakan qishash.
v  Qishash anggota tubuh disyaratkan tiga hal yaitu:
1)       tidak belebihan;
2)      adanya kesamaan dalam nama dan kondisi;
3)      adanya kesamaan antara kedua belah pihak pelaku kejahatan dan korban dalam segi kesehatan dan kesmpurnaan.
            Hukum qisos adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan. Adapun dalil yang mendasari hukkun qisos diantaranya adalah QS. Al-Maidah 45
  Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah 45)

  Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih (QS. Al-Baqarah 178)

            Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam men-qisos adalah:
a)      Pembunuh yang melakukan Qisos harus sudah dewasa, berakal, merdeka dan seagama.
b)      Qisos pada anggota-anggota badan harus sejenis, misalnya tangan dengan tangan dsb.

            Sedangkan diat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukun diad sebab membunuh atau melukai seseorang. Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak disengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khoto’). Adapun dasar dalam hukum diat adalah

             barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah
(QS. An-Nisa’ 92)
            Menurut H. Moh Anwar[12]sebab- sebab yang menimbulkan diat adalah:
1)      Karena diampuni dari hukum qisos dari keluarga/ ahli waris si korban, dan hanya menghendaki dengan diat saja. Yaitu diatnya 100 ekor unta.hukum
2)      Dimana pelaku pembunuhan lari, namun telah diketahui orannya, maka beban diatnya ditanggungkan kepada keluarga atau ahli waris pelaku.
3)      Karena susahnya melaksanakan qisos, seperti:
a)      Ma’munah, yaitu melukai sampai kekulit tenggorokan atau otak. Diatnya 33 ekor unta lebih (1/3 dari diat membunuh)
b)      Ja’ifhah, yaitu luka berat sampai kedalam perut. Diatnya 50 ekor unta (1/2 dari diat membunuh)
c)      Munaqqilah, yaitu luka sampai menglihkan tulang atau memecahkannya. Diatnya 15 ekor unta lebih (1/6 dari diat membunuh)
d)     Mudhihah, yaitu lika sampai kelihatan tulang. Diatnya 5 ekor unta (1/20 dari diat membunuh)
            Adapun rincian diat 100 ekor unta bagi pembunuhan khoto’ dibagi 5 macam[13], yaitu 20 ekor unta hiqqoh (unta umur 3 tahun), 20 ekor unta jadza’ah (unta umur 4 tahun), 20 ekor unta bintu makhod (unta betina umur lebih 1 tahun), 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan umur lebih 2 tahun), 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur lebih 2 tahun).
            Hukum qisohs dan hukum diat, keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Hukum qishos di berikan kepada pelaku pengerusakan badan, akan tetapi dapat pula hukuman tersebut berupa denda (diyat). Menurut H.Moh Anwar menegaskan bahwa : hukuman yang dijatuhkan ,ialah dengan kisos atau diyat tergantung kepada sebab-sebab terjadinya perusakan karena di sengaja atau tidak di sengaja.[14]
            Dengan demikian ciri khas dari jarimah qisas dan diat adalah:
a)      Hukumanya sudah tentu dan terbatas (sudah ditentukan oleh syara’)
b)         Hukuman tersbut merupakan hak perseorangan (pihak korban berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
            Dalam masalah jinayah, husein bahreisj[15]memberi penjelasan dengan klasifikasi sebagai berikut:
1.      Qisos :
a)      Dalam hukum islam setiap terjadinya suatu pembunuhan yang sengaja harus dibalas (qisos) dengan pembunuhan pula, yang diputuskan perkaranya oleh hakim.
b)      Orang muslim yang membunuh orang kafir yang mempunyai perjanjian dengan pemerintah islam (kafir dzimmi), maka tetap ada qisos.
c)      Pembunuhberserikat harus dibunuh semuanya
d)     Ahli waris atau keluarga pihak terbunuh atau korban berhaq menuntut qisos atau hanya menuntut diad saja kepada pelaku pembunuhan.
e)      Orang muslim yang membunuh orang kafir harbi (kafir yang memerangi islam) tidak ada qisos. (pengecualian qisos).
2.      Diat :
a)      Pembunuhan yang tidak sengaja dengan membayar diat 100 unta dengan ketentuan diatas, yang ditimpakan kepada keluarga pembunuh.
b)      Diat karena membunuh wanita adalah ½ dari diat membunuh laki-laki.
c)      Setiap pembunuhan yang dimaafkan atau yang membayar diat, baginya dikenakan satu denda sebagai kafaroh dari perbuatannya, yaitu memerdekakan satu budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’ 92)

B.     Hadd atau hudud
            Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan). ( Fiqhus Sunnah II : 302 )
            Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama. ( Manarus Sabil II : 360 )
            Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum.
            Tindak pidana Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Karena terkait erat dengan kepentingan publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali. Kejahatan hudud ini terkait dengan Hak Allah
Tindak pidana ini diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Ini berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan serta harus dilaksanakan.
            Menurut hukum terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikenakan had, yaitu zina, menuduh zina (Qodzaf), pencurian (sirqoh), begal/ perampok dan pemberontak (bughah), murtad dan sebagainya.

      1. Hukuman Karena Zina
            Apabila terjadi perzinaan, maka bagi pelakunya dijatuhkan hukum jilid atau rajam dengan ketentuan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh syara’. Apabila terjadi perzinaan yang telah memenuhi syarat maka hukumnya sebagai berikut:
Kalau orang yang berzina itu baik laki-laki ataupun perempuannya memang merdeka ,sudah baligh , maka hukumnya sebagai berikut:
a)      Dengan jilid/dipukul 100 kali dan diasingkan selama setahun bagi orang yang merdeka,dewasa, berakal, tetapi belum pernah berjimak dengan istri yang syah.

perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.( QS, An-Nur ayat 2)

b)      kalau orang yang berzina itu sudah merasai berjimak dengan istri yang sah, disebut zina muhson, maka hukumnya dengan rajam, yaitu dilempari batu hingga mati.

2. Hukuman (Had) karena Menuduh Zina (Qodhaf)
Qodhaf adalah menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa ada bukti yang meyakinkan. Jika tidak terbukti maka penuduh dikenai dera 80 kali. Dalam Islam, kehormatan, pencemaran nama baik adalah hak yang harus dilindungi, bukan sekedar karena kebohongan.
Orang yang menuduh zina itu harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Unsur jarimah qadzaf ada tiga, yaitu: menuduh zina atau mengingkari nasab, orang yang dituduh itu muhshan, dan ada itikad jahat.
Alat bukti qadzaf: persaksian 4 orang, pengakuan si penuduh, dan menurut Imam Syafi’i dapat pula dibuktikan dengan sumpah. Bila yang dituduh itu istrinya dan ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh dapat mengajukan sumpah li’an.
            Termasuk tujuh dosa dan merusak amal kebaikan yaitu: menuduh zina (qodhaf). Tuduhan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan.
Firman Allah:

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 4)
            Di dalam menuduh zina (qodhaf) terdapat dua hal yang perlu diperhatikan,yaitu:
a)      Bagi orang yang menuduh zina boleh meminta disumpah orang yang dituduhnya. Kalau yang dituduh itu bersumpah, maka tetap dera bagi yang menuduhnya. Bila orang yang dituduh itu tidak bersumpah, maka tidak harus di dera orang yang menuduhkan dan orang yang dituduhnya tidak di had, kecuali jika ada 4 orang saksi.
b)      Kalau seorang suami melihat atau mencurigakan kepada istrinya akan berbuat zina, maka bagi suami itu diperbolehkan mencerainya atau memelihara si istri dengan menutup rahasianya.[16]
Ø  Hikmah disyari'atkannya had qodzaf:
Islam merupakan agama yang mendukung terjaganya kehormatan dari apa-apa yang mengotori dan menghinakannya, sebagaimana memerintahkan untuk menjaga kehormatan orang-orang yang merdeka, mengharamkan ternodainya harga diri mereka dengan segala sesuatu yang tidak hak; demi terjaganya kehormatan. Sebagian manusia ada yang terdorong untuk melakukan apa yang telah Allah haramkan dari tuduhan, dan pengotoran kehormatan Muslimin dari berbagai sisi yang berbeda, oleh karena beberapa sisi ada yang tersembunyi, maka Islam membebani seorang penuduh untuk mendatangkan bukti berupa empat orang saksi, apabila dia tidak mampu menghadirkannya, maka dia akan terkena had qodzaf berupa cambukan sebanyak delapan puluh kali.

3. Hukum Pencurian (Sirqoh)
            Pengertian sirqoh menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dengan sembunyi. Adapun menurut istilah: sirqoh adalah mengambil sesuatu (barang) hak milik orang lain secara sembunyi dan dari tempat persembunyiannya yang pantas. Hukum mencuri: Haram, dan dia termasuk dari dosa-dosa terbesar.
Islam memerintahkan untuk menjaga harta, mengharamkan dari mengganggunya, maka Islam melarang pencurian, pengambilan paksa karena ini termasuk dari memakan harta orang lain dengan batil.
            Kebenaran hak bagi pencurian berdasarkan nash Al-Qur’an yaitu:

laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Maidah ayat 38.)
            Pelaksanaan hukum potong tangan memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1.      orang yang mencurinya:
a)      sudah baligh. Berakal, sadar dan mengetahui akan haramnya mencuri.
b)      terikat oleh hukum, bukan orang gila atau mabuk
2.      barang yang dicurinya mencapai nizab, yaitu minimal ¼ dinar=3 dirham=3.36 gr emas. Dinar (hitungan emas)=12 dirham, 1 dirham=1,12 gr emas. Maka 1 dinar=12x1,12 gr emas=13,44 gr emas.
3.      Barang curian itu benar-benar milik orang lain, baik semuanya atau sebagiannya dan bukan milik orang tuanya atau anaknya.
4.      mengambilnya barang itu dengan sengaja sengaja
5.      barangnya berada di tempat penyimpanan, seperti lemari untuk menyimpan pakaian atau perhiasan.[17]
Ø  Hikmah disyari'atkannya had pencurian:
            Allah menjaga harta dengan cara mewajibkan potong tangan bagi pencuri,
karena tangan yang hianat kedudukannya sama dengan anggota tubuh berpenyakit yang mewajibkan pemotongannya demi untuk menyelamatkan tubuh, dalam pemotongan tangan pencuri terdapat pelajaran bagi dia yang berfikiran untuk mencuri harta orang lain, sebagai pembersih dosa pencuri dan juga sebagai penegak bagi landasan keamanan dalam masyarakat dan penjagaan terhadap harta milik umat.
Ø  Wajibnya pemotongan dalam had mencuri ketika terealisasinya syarat berikut:
a)      Hendaknya si pencuri seorang mukallaf (yaitu baligh dan berakal).
b)      Harta yang dicuri adalah sesuatu yang berharga.
c)      Harta yang dicuri telah mencapai nisobnya, yaitu seperempat dinar emas atau lebih, atau apa saja yang harganya menyerupai seperempat dinar atau lebih.
d)     Pencurian dilakukan dalam keadaan sembunyi-sembunyi dan tertutup, kalau tidak demikian tidak dipotong, seperti dia yang merebut, menjambret, merampas dan semisalnya, pada kejadian seperti ini hanya mewajibkan ta'zir.
e)      Harta diambil dari hirznya, dengan mengeluarkan darinya.
f)       Hirz: tempat yang dipergunakan untuk menyimpan harta, dia akan berbedabeda, sesuai dengan kebiasaan, hirz setiap dari harta memiliki tempat khusus, hirz untuk harta adalah rumah, Bank ataupun toko, kandang untuk kambing dan seterusnya.
g)      Tidak adanya syubhat dalam mencuri, sehingga tidak dipotong dia yang mencuri harta orang tuanya, tidak pula dari dia yang mencuri harta anak dan keturunannya, tidak juga ketika salah satu suami-isteri mencuri milik pasangannya, termasuk pula dia yang mencuri karena kelaparan.
h)      Permintaan fihak korban dari hartanya yang dicuri.
i)        Pencurian ditetapkan oleh salah satu dari dua perkara berikut:
o   Pengakuan sendiri pencuri tersebut sebanyak dua kali.
o   Persaksian, dengan bersaksinya dua orang adil kalau dia telah mencuri.

4. Hukuman Pembegal dan Perampok
            Pengertian pembegalan adalah: merebut sesuatu atau barang orang lain secara paksa dan menakut-nakuti , sewaktu-waktu disertai penganiayaan atau membunuh pemilik barang tersebut. Seorang perampok yang membunuh maka hukumnya adalah dibunuh (qisos). Tetapi merampok yang membunuh dan mengambil harta orang lain maka hukumnya nya adalah dibunuh atau di salib jika perampok itu mengambil harta orang yang dirampok saja maka hukumannya adalah dipotong  tangan seperti keputusan kepada pencuri. Dan jika ia menakut-nakuti orang maka ia ditahan dan di ta’zir. [18]

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. Surat Al-Maidah ayat 33)

C.    Hukum Ta’zir
            Yang dimaksud dengan hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya.
            nabi bersabda tidak boleh dipukul di atas 10 kali cambuk kecuali hukuman yang telah di tetapkan oleh Allah. Jadi ta’zir hukuman yang lebih ringan yang kesemuanya diserahkan kepada pertimbangan hakim misalnya karena berjudi, berkelahi, mengejek, menggangu orang lain, dan termasuk pula memalsukan berat timbangan dan lain-lain.
            Menurut H.Moh Anwar [19] menjelaskan: bahwa hukum ta’zir ini oleh islam diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam, akan tetapi dengan memperhatikan kepada hukum-hukum pidana positif (undang-undang) juga dengan berlandaskan atau dengan didasari hukum Al-Qur’an dan Al-Hadis, tidak boleh sewena-wena.
            Maka oleh karena itu hakim berhak untuk menyusun KUH atau KUHP. Ta’zir ini di susun oleh suatu badan resmi yang di angkat oleh pemerintah kepala negara yang diberi tugas khusus untuk menyusunnya yang kemudian hasilnya diputuskan oleh DPR, lalu di syahkan oleh kepala Negara untuk dilaksanakan oleh setiap hakim dalam melaksanakan kewajibannya.



















DAFTAR PUSTAKA

          Wahab, Abdul kallaf. 1968.  Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah: Cetakan VIII.
            Wardi, Ahmad Muslich. Pengantar Dan Asas Hukum Islam.
            Qadir, Abdul  Audah. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1
            Sudarsono,SH. Pokok-Pokok Hukum Islam. Hal 527
            Abdullah, Musthafa S.H dkk.1983.  Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
             Al-Jaziri, Adurrahman  “Al- Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah Jilid V”, 1989, Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi
Rasjid, Sulaiman. FIQIH ISLAM. Bandung: PT.  Sinar Bru Algensindo, Cet ke-45.


[1] Abdul wahab kallaf. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968. Hal. 11
[2] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Pengantar Dan Asas Hukum Islam. Hal 1
[3] Abdul Qadir Audah. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1. Hal 67
[4] Drs. Sudarsono,SH. Pokok-Pokok Hukum Islam. Hal 527
[5] Musthafa Abdullah, S.H dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983. Hal.9-10
[6] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Op. cit. hal 9
[7] H. Sulaiman Rasjid. FIQIH ISLAM. Bandung: PT.  Sinar Bru Algensindo, Cet ke-45  Th 2010 Hal 429-431
[8]Ibid hal 136
[9]Ahmad Hanafi, asas-asas hukum pidana islam, hal 255
[10] Abdurrahman Al-Jaziri “Al- Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah Jilid V”, 1989, Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi
[11]  Ibn Rusyd (1990:528)
[12] H. Moh. Anwar. Fiqh Islam. Hal 225
[13] Hadis riwayat Daruqutni
[14] H. Moh. Anwar. Op. Cit. Hal 240
[15] Husein Bahreisj. Pedoman Fiqh Islam. Hal 276-279
[16] H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 281
[17] Ibid. hal 290-291
[18] Husein Bahreisj. op. cit. hal.289-200
[19] H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 300