2.1
Pengertian Fikih Jinayah
Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan
jinayah. Pengertian fikih secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha,
yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian fiqh secara
istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis
yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci.[1]
Adapun
jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan
seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan.[2]
Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan
yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya.[3]
Menurut istilah fiqih, jinayah
adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terhadap hak Allah atau larangan
Allah, hak-hak manusia dan hak binatang di mana
orang yang melakukan wajib mendapat/ diberi hukuman yang sesuai baik dunia
maupun di akhirat. Dalam rumusan lain di sebutkan bahwa jinayah adalah perbuatan
dosa besar atau kejahatan (pidana/ kriminal)
seperti membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan
seseorang.[4]
Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada nash al-Quran
antara lain adalah
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
(Al-Baqarah
179)
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah
bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka
dhsebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah 49)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa’ 65)
Apabila
kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fikih jinayah itu adalah ilmu yang
membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan
yang dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil
terperinci. Pengertian fikih jinayah (hukum pidana islam) tersebut di atas
sejalan dengan pengertian hukum pidana menurut hukum positif (hukum hasil
produk manusia). Atau dengan kata lain hukum pidana itu adalah serangkaian
peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.[5]
Namun
antara hukum pidana islam dengan hukum positif tetap ada perbedaan diantara
keduanya, diantaranya adalah:
a)
Hukum pidana
islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur,
sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak akan selalu dicela
dan diancam dengan hukum islam.
Sedangkan
hukum positif, atau yang dikenal dengan undang-undang hanya mengarah pada apa
yang menyebabkan kerugian secara langsung bagi perseorangan atau ketentraman
masyarakat, dan tidak mengarah pada akhlak atau budi pekerti, sehingga jika
tidak menimbulkan kerugian secara langsung, walaupun bertentangan dengan akhlak
maka itu tidak dianggap tindakan pidana.
b)
Hukum positif
(undang-undang) merupakan buatan/ produk manusia, sedangkan hukum pidana islam bersumber
dari Allah (wahyu) yang ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-sunah, yaitu jarimah
hudud dan jarimah qisash. Ada pula hukum yang diserahkan kepada ulil
amri, yaitu jarimah ta’zir dengan berpedoman Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Dalam
konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah secara
bahasa (etimologi) adalah melakukan setiap perbuatan yang menyimpang
dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama).[6]
Sedangkan menurut istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan oleh
imam Al Mawardi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Ø Pembunuhan ada tiga
cara:
1.
Betul-betul disengaja, yaitu dikakukan oleh yang membunuh guna membunuh orang
yang dibunuhnya itu dengan perkakas yang biasanya digunakan untuk membunuh
orang . Seperti
membunuh dengan
menembak, melukai dengan alat yang tajam, memukul dengan
alat-alat yang berat, dan alat-alat yang lain.
Membunuh dengan memasukkan dalam sel yang tidak ada
udaranya, disekap dalam es, Membunuh dengan diberi racun, diberi obat yang tidak
sesuai, disuntik dengan obat yang bisa mematikan, Membunuh dengan dibiarkan tidak diberi makan, minum dll. Pembunuhan yang
disengaja tersebut wajib diqishash, Hukum ini wajib diqisas. Berarti di wajib
dibunuh pula, kecuali apapbila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh denhgan
membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.
Allah memberikan hukuman yang begitu besar guna menjaga
keselamatan dan ketentraman umum. Dengan berhentinya perbuatan yang buas itu
umat manusia akan hidup sentosa, aman, dan tenteram.
Firman Allah SWT:
Artinya:
“ Dan da;am qisas itu ada (jamiman kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (Al Baqarah: 179)
Di
pertegas dengan hadits rasulullah, ‘’Tidak halal (haram) membunuh orang muslim,
kecuali ada (salah satu) 3 sebab : kafir sesudah iman, berzina sesudah kawin
dan membunuh orang tanpa hak, baik karena dhalim dan permusuhan. (HR. Tirmidzy
dan Nasaâ’i)
Orang yang membunuh tanpa ada
hak, harus diqishash, harus dibunuh juga. Kalau ahli waris (yang terbunuh)
memaafkan pembunuhan tersebut, pembunuhan tidak diqishash (dihukum bunuh)
tetapi harus membayar diyah yang besar, yaitu harus membayar dengan seharga 100
ekor unta tunai, pada waktu itu juga. Hal ini selaras dengan hadits rasulullah,
‘Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan pada keluarga
terbunuh. Apabila mereka mengkehendaki maka membunuhnya atau minta diyah dengan
30 ekor unta hiqqah, 30ekor unta jadzaâ’ah dan 40 ekor unta khalafah (jumlahnya
100 ekor unta). Hasil perdamaian itu untuk mereka (ahli waris si terbunuh).
Demikian itu untuk memperkeras terhadap pembunuhan. (HR. Tirmidzi)
2.
Ketidaksengajaan semata-mata. Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak
disangka akan kena pada orang lain
sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang jatuh menimpa orang lain
sehingga orang yang ditimpanya itu mati. Contoh orang memukul orang lain dengan
sapu lidi kemudian yang dipukul mati. Pembunuhan tidak
sengaja tidak kena hukuman qishash tetapi pembunuhnya harus membayar diyat
besar,
Hukum pembunuhan yang tak disengaja ini tidak awajib qisas, hanya wajib
membayar denda (diyat) yang ringan. sebagaimana diyat bagi pembunuh sengaja
yang dimaafkan ahli waris terbunuh. Diyat itu boleh dibayar selama 3 tahun
dengan angsuran setiap tahun 1/3-nya.
Firrman
Allah SWT:
Artinya:”
Dan barang siapa membunuh seorang mukminkarena tersalah, (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarga si terbunuh itu,” (An Nisa: 92).
Dalam ayat tersebut diwajibkan diyat
(denda), bukan qisas.
Seperti
sengaja, yaitu sengaja
memukul orang, tetapi dengan alat yang ringan (biasanya tidak untuk membunuh
orang). Misalnya orang melempar batu ke hutan tiba-tiba orang
mati terkena batu tersebut. Orang membunuh orang lain tidak sengaja, wajib
memerdekakan seorang budak mu’min adil. Dalam hal ini
tidak wajib pula qisas, hanya diwajibkan membayar diyat (denda) yang berat atas
keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.[7]
2.2 Fungsi dan Tujuan diterapkannya Hukuman
Hukuman adalah salah satu tindakan
yang diberikan kepada seseorang atau kelompok oleh syara’ sebagai pembalasan
atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara
ketertiban dan kepentingan masyarakat serta melindungi kepentingan individu.
Adapun tujuan Tujuan
utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat islam adalah sebagai
berikut:
a. Pencegahan
 : Pengertian
pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah
tersebut dan menahan orang lain untuk tidak berbuat jarimah serta menjauhkan
diri dari lingkungan jarimah.
Oleh
karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan
cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut., tidak boleh kurang atau lebih dari
batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam
menjatuhkan hukuman. Apabila kondisinya demikian maka hukuman yang diberikan (terutama
hukuman ta’zir ), dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat jarimah yang
diperbuat.[8]
b. Perbaikan dan Pendidikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan
hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia berubah menjadi orang yang baik
dan menyadari kesalahannya. sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan
karena takut akan hukuman melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya
terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapat ridha
Allah. Kesadaran yang demikian keadaanya tentu merupakan alat yang paling baik
untuk memberantas jarimah, karena seseorang sebelum berbuat jarimah ia akan
berfikir bahwa Tuhan tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa
dirinya baik di dunia maupun diakherat, baik perbuatannya itu diketahui orang
atau tidak.[9]
Sehingga
dari ini dapat merubah atau memperbaiki akhlak manusia yang semula tidak
terpuji menjadi akhlak yang terpuji atau luhur .
2.3 Macam-Macam Jinayah
Pada dasarnya
dan yang ditinjau dari segi barat ringannya hukuman, jinayat dibagi menjadi 3,
yaitu:
A. Qishos (pembalasan) dan Diat (denda)
Kata qishash berasal dari
bahasa Arab “qashasha” yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja “ قص,
يقص, قصاص”. Ditinjau dari segi bahasa, kata itu
berarti memotong, mengerat dan mengikuti jejak .
Sedangkan ditinjau dari istilah fiqh
adalah: “Qishash adalah pelaksanaan hukuman bagi pelaku pelanggaran sesuai
dengan jenis pelanggaran yang dilakukannya, baik menyangkut jiwa manusia atau
anggota-anggota badan lainnya”.[10] Jadi, qishash dapat dibatasi sebagai
akibat hukum karena seseorang melakukan kejahatan berupa penghilangan nyawa
atau melukai anggota tubuh orang lain, hingga padanya diancam hukuman yang
semisal dengan kejahatan yang dilakukannya
Ø Dasar Hukum Qishash
Al-Jaziri
menerangkan bahwa hukum qishash ditetapkan oleh kitabullah, Hadits Rasul dan
Ijma’. Pertama dasar hukuman Qishash dari Al-Qur’an yaitu:).
1.
Al- Maidah ayat 45 sebagai
berikut:
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ
بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ
تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Dan kami Telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At$ Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S Al- Maidah ayat 45)
Ø Pembagian Qishash
Pembagian qishas di bagi
menjadi dua yaitu: (1) Qishash Jiwa (2) Qishash selain jiwa atau qishash
anggota badan (termasuk pelukaan)[11].
a. Qishash Jiwa
Tidak setiap
tindakan kekejaman terhadap jiwa membawa konsekuensi qishash. Karena tindak
kekejaman itu ada yang disengaja, menyerupai sengaja dan adakalanya kesalahan.
Qishash jiwa hanya dikenakan pada kasus pembunuhan yang disengaja.
b. Qishash Selain Jiwa
a) Qishash selain Jiwa mempunyai syarat sebagai berikut:
b) Pelaku
berakal;
c) Pelaku Sudah mencapai umur baligh;
d) motivasi kejahatan disengaja;
e) hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang
yang melukainya.
c. Qishash selain jiwa ada dua macam,
1. qishash terhadap anggota tubuh
2. qishash terhadap luka-luka.
Qishash pada
anggota tubuh yang wajib diqishash adalah setiap anggota badan yang mempunyai ruas
(persendian) yang jelas seperti siku dan pergelangan tangan.adapun anggota
tubuh yang tak bersendi tidak dikenakan qishash.
v Qishash anggota tubuh disyaratkan tiga hal yaitu:
1)
tidak belebihan;
2)
adanya kesamaan dalam nama dan
kondisi;
3)
adanya kesamaan antara kedua belah
pihak pelaku kejahatan dan korban dalam segi kesehatan dan kesmpurnaan.
Hukum
qisos adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan
badan. Adapun dalil yang mendasari hukkun qisos diantaranya adalah QS.
Al-Maidah 45
Dan
kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
(QS. Al-Maidah 45)
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih (QS. Al-Baqarah 178)
Adapun syarat yang
harus dipenuhi dalam men-qisos adalah:
a)
Pembunuh yang
melakukan Qisos harus sudah dewasa, berakal, merdeka dan seagama.
b)
Qisos pada
anggota-anggota badan harus sejenis, misalnya tangan dengan tangan dsb.
Sedangkan diat adalah denda yang
wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena
hukun diad sebab membunuh atau melukai seseorang. Pembunuhan yang terjadi bisa
dikarenakan pembunuhan dengan tidak disengaja atau pembunuhan karena kesalahan
(khoto’). Adapun dasar dalam hukum diat adalah
barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah
(QS. An-Nisa’ 92)
Menurut
H. Moh Anwar[12]sebab-
sebab yang menimbulkan diat adalah:
1)
Karena diampuni
dari hukum qisos dari keluarga/ ahli waris si korban, dan hanya menghendaki
dengan diat saja. Yaitu diatnya 100 ekor unta.hukum
2)
Dimana pelaku pembunuhan
lari, namun telah diketahui orannya, maka beban diatnya ditanggungkan kepada
keluarga atau ahli waris pelaku.
3)
Karena susahnya
melaksanakan qisos, seperti:
a) Ma’munah,
yaitu melukai sampai kekulit tenggorokan atau otak. Diatnya 33 ekor unta lebih (1/3
dari diat membunuh)
b) Ja’ifhah,
yaitu luka berat sampai kedalam perut. Diatnya 50 ekor unta (1/2
dari diat membunuh)
c) Munaqqilah,
yaitu luka sampai menglihkan tulang atau memecahkannya. Diatnya 15 ekor unta lebih
(1/6 dari diat membunuh)
d) Mudhihah,
yaitu lika sampai kelihatan tulang. Diatnya 5 ekor unta (1/20
dari diat membunuh)
Adapun rincian diat 100 ekor unta
bagi pembunuhan khoto’ dibagi 5 macam[13], yaitu 20 ekor unta hiqqoh (unta umur 3 tahun),
20 ekor unta jadza’ah (unta umur 4 tahun), 20 ekor unta bintu makhod (unta
betina umur lebih 1 tahun), 20 ekor unta ibnu labun (unta jantan umur lebih 2
tahun), 20 ekor unta bintu labun (unta betina umur lebih 2 tahun).
Hukum qisohs dan hukum
diat, keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh syara’. Hukum
qishos di berikan kepada pelaku pengerusakan badan, akan tetapi dapat pula
hukuman tersebut berupa denda (diyat). Menurut H.Moh Anwar menegaskan
bahwa : hukuman yang dijatuhkan ,ialah dengan kisos atau diyat tergantung
kepada sebab-sebab terjadinya perusakan karena di sengaja atau tidak di
sengaja.[14]
Dengan
demikian ciri khas dari jarimah qisas dan diat adalah:
a) Hukumanya
sudah tentu dan terbatas (sudah ditentukan oleh syara’)
b)
Hukuman tersbut
merupakan hak perseorangan (pihak korban berhak memberikan pengampunan terhadap
pelaku.
Dalam
masalah jinayah, husein bahreisj[15]memberi
penjelasan dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Qisos
:
a)
Dalam hukum
islam setiap terjadinya suatu pembunuhan yang sengaja harus dibalas (qisos)
dengan pembunuhan pula, yang diputuskan perkaranya oleh hakim.
b)
Orang muslim
yang membunuh orang kafir yang mempunyai perjanjian dengan pemerintah islam (kafir
dzimmi), maka tetap ada qisos.
c)
Pembunuhberserikat
harus dibunuh semuanya
d)
Ahli waris atau
keluarga pihak terbunuh atau korban berhaq menuntut qisos atau hanya menuntut
diad saja kepada pelaku pembunuhan.
e)
Orang muslim
yang membunuh orang kafir harbi (kafir yang memerangi islam) tidak ada
qisos. (pengecualian qisos).
2. Diat
:
a)
Pembunuhan yang
tidak sengaja dengan membayar diat 100 unta dengan ketentuan diatas, yang
ditimpakan kepada keluarga pembunuh.
b)
Diat karena
membunuh wanita adalah ½ dari diat membunuh laki-laki.
c)
Setiap
pembunuhan yang dimaafkan atau yang membayar diat, baginya dikenakan satu denda
sebagai kafaroh dari perbuatannya, yaitu memerdekakan satu budak atau berpuasa dua
bulan berturut-turut
Dan tidak layak
bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena
tersalah (Tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak
memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’ 92)
B. Hadd atau hudud
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata
had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut
bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan). ( Fiqhus Sunnah II : 302 )
Adapun menurut syar’i, hudud adalah
hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari
terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama. ( Manarus
Sabil II : 360 )
Menurut istilah hudud
berarti: sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul
(dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi tersebut dapat
pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan
keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan
hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum.
Tindak pidana Hudud adalah kejahatan
yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Karena terkait erat
dengan kepentingan publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud tidak
mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali. Kejahatan hudud ini terkait
dengan Hak Allah
Tindak pidana ini diancam dengan hukuman hadd, yaitu
hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Ini berarti bahwa baik kuantitas
maupun kualitas ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan serta harus
dilaksanakan.
Menurut
hukum terdapat beberapa perbuatan yang dapat dikenakan had, yaitu zina, menuduh
zina (Qodzaf), pencurian (sirqoh), begal/ perampok dan pemberontak
(bughah), murtad dan sebagainya.
1. Hukuman Karena Zina
Apabila terjadi perzinaan, maka bagi
pelakunya dijatuhkan hukum jilid atau rajam dengan ketentuan bahwa perbuatan
tersebut telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh syara’. Apabila
terjadi perzinaan yang telah memenuhi syarat maka hukumnya sebagai berikut:
Kalau orang yang berzina itu baik
laki-laki ataupun perempuannya memang merdeka ,sudah baligh , maka hukumnya
sebagai berikut:
a) Dengan
jilid/dipukul 100 kali dan diasingkan selama setahun bagi orang yang
merdeka,dewasa, berakal, tetapi belum pernah berjimak dengan istri yang syah.
perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.( QS, An-Nur ayat 2)
b) kalau
orang yang berzina itu sudah merasai berjimak dengan istri yang sah, disebut
zina muhson, maka hukumnya dengan rajam, yaitu dilempari batu hingga mati.
2. Hukuman (Had)
karena Menuduh Zina (Qodhaf)
Qodhaf adalah menuduh
wanita baik-baik berbuat zina tanpa ada bukti yang meyakinkan. Jika tidak
terbukti maka penuduh dikenai dera 80 kali. Dalam Islam, kehormatan, pencemaran
nama baik adalah hak yang harus dilindungi, bukan sekedar karena kebohongan.
Orang
yang menuduh zina itu harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Unsur jarimah
qadzaf ada tiga, yaitu: menuduh zina atau mengingkari nasab, orang yang dituduh
itu muhshan, dan ada itikad jahat.
Alat
bukti qadzaf: persaksian 4 orang, pengakuan si penuduh, dan menurut Imam
Syafi’i dapat pula dibuktikan dengan sumpah. Bila yang dituduh itu istrinya dan
ia menolak tuduhannya maka suami yang menuduh dapat mengajukan sumpah li’an.
Termasuk tujuh
dosa dan merusak amal kebaikan yaitu: menuduh zina (qodhaf). Tuduhan
tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan.
Firman Allah:
Dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur 4)
Di dalam menuduh zina (qodhaf)
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan,yaitu:
a) Bagi
orang yang menuduh zina boleh meminta disumpah orang yang dituduhnya. Kalau
yang dituduh itu bersumpah, maka tetap dera bagi yang menuduhnya. Bila orang
yang dituduh itu tidak bersumpah, maka tidak harus di dera orang yang
menuduhkan dan orang yang dituduhnya tidak di had, kecuali jika ada 4 orang
saksi.
b)
Kalau seorang
suami melihat atau mencurigakan kepada istrinya akan berbuat zina, maka bagi
suami itu diperbolehkan mencerainya atau memelihara si istri dengan menutup
rahasianya.[16]
Ø Hikmah
disyari'atkannya had qodzaf:
Islam merupakan agama yang mendukung terjaganya
kehormatan dari apa-apa yang mengotori dan menghinakannya, sebagaimana
memerintahkan untuk menjaga kehormatan orang-orang yang merdeka, mengharamkan
ternodainya harga diri mereka dengan segala sesuatu yang tidak hak; demi
terjaganya kehormatan. Sebagian manusia ada yang terdorong untuk melakukan apa
yang telah Allah haramkan dari tuduhan, dan pengotoran kehormatan Muslimin dari
berbagai sisi yang berbeda, oleh karena beberapa sisi ada yang tersembunyi,
maka Islam membebani seorang penuduh untuk mendatangkan bukti berupa empat
orang saksi, apabila dia tidak mampu menghadirkannya, maka dia akan terkena had
qodzaf berupa cambukan sebanyak delapan puluh kali.
3. Hukum Pencurian (Sirqoh)
Pengertian
sirqoh menurut bahasa ialah mengambil sesuatu dengan sembunyi. Adapun menurut
istilah: sirqoh adalah mengambil sesuatu (barang) hak milik orang lain secara
sembunyi dan dari tempat persembunyiannya yang pantas. Hukum mencuri: Haram, dan dia termasuk
dari dosa-dosa terbesar.
Islam memerintahkan untuk menjaga harta,
mengharamkan dari mengganggunya, maka Islam melarang pencurian, pengambilan
paksa karena ini termasuk dari memakan harta orang lain dengan batil.
Kebenaran hak bagi pencurian
berdasarkan nash Al-Qur’an yaitu:
laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Maidah ayat 38.)
Pelaksanaan hukum
potong tangan memerlukan beberapa syarat, yaitu:
1. orang
yang mencurinya:
a) sudah
baligh. Berakal, sadar dan mengetahui akan haramnya mencuri.
b) terikat
oleh hukum, bukan orang gila atau mabuk
2. barang
yang dicurinya mencapai nizab, yaitu minimal ¼ dinar=3 dirham=3.36 gr emas.
Dinar (hitungan emas)=12 dirham, 1 dirham=1,12 gr emas. Maka 1 dinar=12x1,12 gr
emas=13,44 gr emas.
3. Barang
curian itu benar-benar milik orang lain, baik semuanya atau sebagiannya dan
bukan milik orang tuanya atau anaknya.
4. mengambilnya
barang itu dengan sengaja sengaja
5. barangnya
berada di tempat penyimpanan, seperti lemari untuk menyimpan pakaian atau
perhiasan.[17]
Ø Hikmah
disyari'atkannya had pencurian:
Allah
menjaga harta dengan cara mewajibkan potong tangan bagi pencuri,
karena
tangan yang hianat kedudukannya sama dengan anggota tubuh berpenyakit yang
mewajibkan pemotongannya demi untuk menyelamatkan tubuh, dalam pemotongan
tangan pencuri terdapat pelajaran bagi dia yang berfikiran untuk mencuri harta
orang lain, sebagai pembersih dosa pencuri dan juga sebagai penegak bagi
landasan keamanan dalam masyarakat dan penjagaan terhadap harta milik umat.
Ø Wajibnya
pemotongan dalam had mencuri ketika terealisasinya syarat berikut:
a) Hendaknya
si pencuri seorang mukallaf (yaitu baligh dan berakal).
b) Harta
yang dicuri adalah sesuatu yang berharga.
c) Harta
yang dicuri telah mencapai nisobnya, yaitu seperempat dinar emas atau lebih,
atau apa saja yang harganya menyerupai seperempat dinar atau lebih.
d) Pencurian
dilakukan dalam keadaan sembunyi-sembunyi dan tertutup, kalau tidak demikian
tidak dipotong, seperti dia yang merebut, menjambret, merampas dan semisalnya,
pada kejadian seperti ini hanya mewajibkan ta'zir.
e) Harta
diambil dari hirznya, dengan mengeluarkan darinya.
f) Hirz:
tempat yang dipergunakan untuk menyimpan harta, dia akan berbedabeda, sesuai
dengan kebiasaan, hirz setiap dari harta memiliki tempat khusus, hirz untuk
harta adalah rumah, Bank ataupun toko, kandang untuk kambing dan seterusnya.
g) Tidak
adanya syubhat dalam mencuri, sehingga tidak dipotong dia yang mencuri harta
orang tuanya, tidak pula dari dia yang mencuri harta anak dan keturunannya,
tidak juga ketika salah satu suami-isteri mencuri milik pasangannya, termasuk
pula dia yang mencuri karena kelaparan.
h) Permintaan
fihak korban dari hartanya yang dicuri.
i)
Pencurian
ditetapkan oleh salah satu dari dua perkara berikut:
o
Pengakuan
sendiri pencuri tersebut sebanyak dua kali.
o
Persaksian,
dengan bersaksinya dua orang adil kalau dia telah mencuri.
4. Hukuman Pembegal dan
Perampok
Pengertian
pembegalan adalah: merebut sesuatu atau barang orang lain secara paksa dan
menakut-nakuti , sewaktu-waktu disertai penganiayaan atau membunuh pemilik
barang tersebut. Seorang perampok yang membunuh maka hukumnya adalah dibunuh
(qisos). Tetapi merampok yang membunuh dan mengambil harta orang lain maka
hukumnya nya adalah dibunuh atau di salib jika perampok itu mengambil harta
orang yang dirampok saja maka hukumannya adalah dipotong tangan seperti keputusan kepada pencuri. Dan
jika ia menakut-nakuti orang maka ia ditahan dan di ta’zir. [18]
Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (QS. Surat
Al-Maidah ayat 33)
C. Hukum Ta’zir
Yang
dimaksud dengan hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di
tetapkan hukumannya dalam Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman
ringan. hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan
yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi
syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya.
nabi
bersabda tidak boleh dipukul di atas 10 kali cambuk kecuali hukuman yang telah
di tetapkan oleh Allah. Jadi ta’zir hukuman yang lebih ringan yang kesemuanya diserahkan
kepada pertimbangan hakim misalnya karena berjudi, berkelahi, mengejek,
menggangu orang lain, dan termasuk pula memalsukan berat timbangan dan
lain-lain.
Menurut
H.Moh Anwar [19] menjelaskan:
bahwa hukum ta’zir ini oleh islam diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam,
akan tetapi dengan memperhatikan kepada hukum-hukum pidana positif (undang-undang)
juga dengan berlandaskan atau dengan didasari hukum Al-Qur’an dan Al-Hadis,
tidak boleh sewena-wena.
Maka
oleh karena itu hakim berhak untuk menyusun KUH atau KUHP. Ta’zir ini di susun
oleh suatu badan resmi yang di angkat oleh pemerintah kepala negara yang diberi
tugas khusus untuk menyusunnya yang kemudian hasilnya diputuskan oleh DPR, lalu
di syahkan oleh kepala Negara untuk dilaksanakan oleh setiap hakim dalam
melaksanakan kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Abdul kallaf. 1968. Ilmu
Ushul Al-Fiqh.
Ad Dar Al Kuwaitiyah:
Cetakan VIII.
Wardi, Ahmad Muslich. Pengantar
Dan Asas Hukum Islam.
Qadir, Abdul Audah. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy.
Dar Al Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1
Sudarsono,SH.
Pokok-Pokok Hukum Islam. Hal 527
Abdullah, Musthafa S.H dkk.1983. Intisari
Hukum Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Al-Jaziri, Adurrahman “Al- Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah Jilid
V”, 1989, Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi
Rasjid, Sulaiman. FIQIH
ISLAM. Bandung: PT. Sinar Bru
Algensindo, Cet ke-45.
[1] Abdul wahab kallaf. Ilmu Ushul Al-Fiqh. Ad Dar Al
Kuwaitiyah. Cetakan VIII. 1968. Hal. 11
[2] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Pengantar Dan Asas Hukum Islam.
Hal 1
[3] Abdul Qadir Audah. At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy. Dar Al
Kitab Al Araby, Beirut. Juz 1. Hal 67
[4] Drs. Sudarsono,SH. Pokok-Pokok Hukum Islam. Hal 527
[5] Musthafa Abdullah, S.H dkk. Intisari Hukum Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1983. Hal.9-10
[6] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. Op. cit. hal 9
[7] H. Sulaiman
Rasjid. FIQIH ISLAM. Bandung: PT.
Sinar Bru Algensindo, Cet ke-45
Th 2010 Hal 429-431
[8]Ibid hal 136
[9]Ahmad Hanafi, asas-asas hukum pidana islam, hal 255
[10] Abdurrahman
Al-Jaziri “Al- Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah Jilid V”, 1989, Beirut: Dar
Al-Fikr Al-‘Arabi
[12] H. Moh. Anwar. Fiqh Islam. Hal 225
[13] Hadis riwayat Daruqutni
[14] H. Moh. Anwar. Op. Cit. Hal 240
[15] Husein Bahreisj. Pedoman Fiqh Islam. Hal 276-279
[16] H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 281
[17] Ibid. hal 290-291
[18] Husein Bahreisj. op. cit. hal.289-200
[19] H. Moh. Anwar. Op.cit. hal 300