2.1 Pengertian
Fiqih Mu’amalat
Pada dasarnya fiqih mu’amalah terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan
mu’amalah. Secara etimologi (bahasa), fiqih adalah (الفهم) yang berarti
faham. Kata “fiqih” juga diartikan “paham yang mendalam”. Kata ini muncul
sebanyak 20 kali dalam Al Qur’an dengan arti “paham itu”. Diantaranya
dalam surat Thaha ayat 27- 28, An Nisa’ ayat 78, Al Hud ayat 91 dan Al Kahfi
ayat 93, dll. Contohnya dalam surat Al Kahfi ayat 93 yaitu:
حَتَّى
اِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمَا قَوْمًا
لاَّيَكَادُوْنَ يَفْقَهُثوْنَ قَوْلأ.
Artinya :
“Hingga apabila dia telah sampai di antara dua
buah gunung,dia mendapati dihadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir
tidak memahami pembicaraan.”
Arti yafqohuna dalam ayat itu artinya “mereka memahami”.[1]
Kata kedua yaitu mu’amalah, secara
etimologi kata mu’amalah adalah bentuk masdar dari kata ‘amala ( عامل – يعامل – معاملة ) yang artinya saling bertindak, saling
berbuat, dan saling beramal.
Secara terminologi, pengertian fiqih mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu
dalam arti luas dan dalam arti sempit.
a.
Pengertian dalam arti luas
Di antara definisi yang dikemukakan oleh
para ulama tentang definisi muamalah adalah:
1.
Menurut Ad Dimyati
“Aktivitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah
ukrowi.”
2.
Menurut Muhammad Yusuf Musa
“ Peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.”
Dari dua pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa fiqih mu’amalah adalah
aturan-aturan (hukum) Allah SWT, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan
manusia dalam urusan kehidupan manusia dalam urusan keduniawian atau urusan
yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
b.
Pengertian dalam arti sempit
Ada beberapa ulama’ yang mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian fiqih
muamalah, antara lain:
1)
Menurut Hudhari
Beik:
“Muamalah adalah semua akad yang
membolehkan manusia saling menukar manfaat.”
2)
Menurut Idris
Ahmad:
“Muamalah adalah aturan Allah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.”
3)
Menurut Rasyid
Ridha:
“Muamalah adalah tukar-menukar barang
atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.”
Dari definisi diatas, dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam arti sempit fiqih muamalah menekankan keharusan untuk
menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan
antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan
mal (harta benda).
Namun, dari pengertian di atas fiqih
muamalah tidak mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan harta, seperti cara
mengatur tirkah (harta waris), sebab masalah ini telah diatur dalam
disiplin ilmu itu tersendiri,
yaitu dalam Fiqih Mawaris.[2]
2.2 Pembagian Fiqih
Mu’amalah
1.
Menurut Ibn Abidin
Menurut Ibn Abidin, Fiqih Muamalah bisa dibagi menjadi 5
bagian, diantaranya:
a.
Muawadhah maliyah ( Hukum Kebendaan)
b.
Munakahat ( Hukum Perkawinan)
c.
Muhasanat (Hukum Acara)
d.
Amanat dan ‘Aryah ( Pinjaman)
e.
Tirkah ( Harta Peninggalan)
2.
Menurut Al Fikri
Menurut Al Fikri, fiqih mu’amalah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a)
Al Muamalah Al-Madiyah
Al Muamalah Al-Madiyah adalah mu’amalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu
benda. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa
mu’amalah Al madiyah bersifat kebendaan,
yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan atu
diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan
bagi manusia,dll.
Dengan kata lain, Al Mu’amalah Al Madiyah adalah aturan-aturan
yang telah ditetapkan syara’ dari segi objek benda. Oleh karena itu, berbagai
aktivitas muslim yang berkaitan dengan benda, seperti al-ba’i (jual
beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh ridha Allah. konsekuensinya, harus
menuruti tat cara jual beli yang telah ditetapkan syara’.
b)
Al Mu’amalah Al Adabiyah
Al Muamalah Al Adabiyah maksudnya, muamalah di tinjau dari
segi cara tukar menukarbenda yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan
unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasud, iri,
dendam, dll.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Al Muamalah Al
Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia
dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia
sebagai pelakunya. Dengan demikian, maksud Adabiyah antara lain berkisar dalam keridhoan dari
kedua belah pihak yang melangsungkan
akad, ijab qobul, dusta, dll. Dalam praktiknya, kedua Al Muamalah tidak
dapat di dipisahkan.
2.3 Ruang
Lingkup Fiqih Muamalah
Berdasarkan pembagian fiqih muamalah di atas, ruang lingkupnya terbagi
menjadi dua, yaitu:
1)
Ruang Lingkup Muamalah Adabiyah
Hal-hal yang termasuk ruang lingkup muamalah adabiyah adalah ijab dan kabul, saling meridhai, tidak
ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak, dan kewajiban, kejujuran pedagang,
penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera
manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
2)
Ruang Lingkup Muamalah Madiyah
Ruang lingkup muamalah madiyah antara lain:
a.
Jual beli ( Al bai’at Tijarah)
b.
Gadai (rahn)
c.
Jaminan dan Tanggungan ( Kafalah dan Dhaman)
d.
Pemindahan Utang ( hiwalah)
e.
Jatuh bangkit ( tafjis)
f.
Batas bertindak ( al hajru).
g.
Perseroan atau perkongsian (Asy- Syirkah).
h.
Perseroan harta dan tenaga ( al mudharabah ).
i.
Sewa- menyewa tanah (al musaqah al mukhabarah).
j.
Upah (ujral al amah).
k.
Gugatan ( asy syuf’ah).
l.
Sayembara ( al ji’alah ).
m.
Pembagian kekayaan bersama ( al qismah).
n.
Pemberian ( al hibbah).
o.
Pembebasan (al ibra’) damai ( ash shulhu).
p.
Beberapa masalah
mu’ashirah ( muhaditsah ), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan
masalah lainnya.
Dari beberapa ruang lingkup fikih muamalah di atas, maka ruang lingkup fiqih
muamalah secara garis besarnya meliputi pembahasan tentang harta (al-mal),
hak-hak kebendaan (al-huquq) dan hukum perikatan (al-aqad).
Berikut ini adalah
penjabaran secara global tentang ruang lingkup pembahasan fiqih muamalah.
1) Bagian Pertama: Hukum Benda
Ruang lingkup ini terdiri dari tiga
pokok pembahasan masing-masing dalam satu bab:
1.
Harta
a. Pengertian Harta
Harta
dalam bahasa arab disebut, al-mal yang berasal dari kata yang berarti condong, cenderung dan miring. Oleh karena itu dalam kehidupan manusia cenderung ingin
memiliki dan menguasai harta.
Menurut
Ulama Hanafiyah istilah
harta (al-mal) ialah: “Segala
sesuatu
yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan.”
Menurut definisi ini, harta memiliki 2 unsur, yaitu:
a.
Harta dapat dikuasai dan dipelihara
b.
Harta dimanfaatkan menurut kebiasaan
Menurut jumhur ulama fiqih selain Hanafiyah mengemukakan
beberapa pendapatnya mengenai harta diantaranya yaitu:
Ø “Harta adalah
segala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya.”
Ø “Harta juga
diartikan sebagai sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabi’atnya, baik
manusia itu akan memberikan atau akan menyimpan.”
Ø Selain itu harta
juga diartikan sebagai : “Segala dzat
(‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar di antara manusia.” [3]
b.
Unsur-unsur
Harta
Menurut
para fuqoha bahwa harta bersendi pada dua unsur, unsur ‘ainiyah dan unsur
‘urf. Yang dimaksud dengan unsur ‘ainiah adalah bahwa harta itu ada
wujudnya dalam kenyataan, maka manfaat sebuah rumah yang di pelihara manusia
tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak.
Unsure
‘urf
adalah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian
manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya,
baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.[4]
c.
Jenis-jenis
Harta
Harta
dalam pengertian sebagaimana disampaikan dimuka, dalam hukum islam menurut
sudut pandang tertentu di bedakan dalam beberapa kategori. Masing-masing
mempunyai cirri-ciri khusus dan atas masing-masing kategori bisa jadi berlaku
hukum-hukum yang berbeda.
1.
Mal Mutaqawwim dan Ghoiru Mutaqawwim
·
Mal muttaqawwim: Segala sesuatu yang dapat dikuasai
dengan pekerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya, macam-macam benda
yang tidak bergerak,yang bergerak,dll.
·
Mal Ghoiru Mutaqawwim: Segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan
pekerjaan dan dilarang syara’ untuk memanfaatkannya, kecuali dalam keadaan
madarat, seperti khamar, babi.
2.
Mal ‘aqar dan Mal Manqul
·
Mal ‘aqar: harta tetap, yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah
dari satu tempat ke tempat lain menurut asalnya, seperti rumah,dan hal-hal yang
membumi.
·
Mal Manqul: harta yang dapat dipindahkan dan diubah dari
tempat satu ke tempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula,
ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan
tersebut.seperti: uang, barang dagangan, macam-macam hewan, benda yang
ditimbang dan diukur.
3.
Mal Mitsliy dan Mal Qimiy
·
Mal Mitsliy: harta yang memiliki persamaan atau
kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan pada bagian-bagiannya atau kesatuannya
sebagaimana yang terjadi dalam aktivitas ekonomi. Contoh: telur, gandum, kapas,
besi, pakaian,papan, dll.
·
Mal Qimiy: harta yang tidak mempunyai persamaan dipasar,
tapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti:
binatang dan pohon.
4.
Mal Isti’mali dan Mal Istihlaki
·
Mal Isti’mali: harta yang dapat diambil manfaatnya, sedangkan zatnya
tetap (tidak berubah). Contoh: rumah, tempat tidur, buku,dll.
·
Mal Istihlaki: harta yang dapat diambil manfaatnya dengan
merusak zatnya. Contoh: kayu bakar, uang, kertas, dll.
5.
Mal Mamluk, Mal
Mahjur dan Mal Mubah
·
Mal Mamluk: sesuatu yang berada dibawah kepemilikan, baik
perseorangan, maupun badan hukum. Contoh: yayasan dan pemerintahan.
·
Mal Mubah: sesuatu yang pada asalnya bukan milik
seseorang,seperti: air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon
dihutan dan buah-buahannya.
·
Mal Mahjur: sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan
disyari’atkan memberikan kepada orang lain, baik itu benda wakaf maupun benda
untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid, kuburan, dll.
6.
Mal Ashl (harta pokok / harta yang menyebabkan adanya harta yang
lain) dan
Mal Tsamarah(harta hasil / harta
yang terjadi dari harta lain).
7.
Mal qabi li al qismah (harta yang bisa dibagi)
dan
Mal Ghoirul qabi al
Qismah (harta yang tidak dapat dibagi).
8.
Malul Khas (harta pribadi yang tidak bersekutu dengan harta lain)
dan Malul-‘Amm (harta milik umum/
bersama).
9.
Mal ’Ain dan Mal Dain
·
Mal ‘Ain: harta yang berbentuk benda, seperti: kendaraan,
rumah, dll
- Mal’ain Dzati
Qimmah:harta yang berbentuk dan bernilai.
- Mal’ain Ghair Dzati
Qimmah: benda yang tidak dapat dipandang harta,karena tidak memiliki
nilai,seperti sebiji beras.
· Mal Dain: sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.[5]
2.
Hak
a.
Pengertian Hak
Hak
berasal dari bahasa Arab haqq, secara harfiah berarti kepastian
atau ketetapan. Secara
terminologis Hak adalah himpunan kaidah dan nash-nash syari’at yang harus
dipatuhi untuk menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan perorangan
maupun yang berkaitan dengan harta benda.[6]
b.
Pembagian Hak
Dalam
pengertian umum, hak dapat dibagh menjadi dua bagian yaitu mal dah
ghoir mal.
Hak
mal
adalah sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau hutang-hutang. Hak
ghoir mal terbagi dua bagian yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini.
Hak syakhshi adalah suatu tuntutan yang ditetapkan syara’ dari seseorang
terhadap orang lain.
Hak
‘aini adalah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa
dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini ada dua macam: hak ‘aini ashli dan hak ‘aini
thab’i.[7]
3.
Hak
milik
a.
Pengertian Hak
milik
Milik
(arab, al-milk) dan secara bahasa adalah pemilikan atas sesuatu (al-mal, atau
harta benda) dan kewenangan bertidak secara bebas terhadapnya. Sedangkan
menurut terminologi adalah sesuatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk
menetapkan suatu
kekuasaan atau suatu beban hukum.
b.
Pembagian
Macam-macam Hak milik
Ø Milk
‘Aini, Milk Manfaat dan Milk Dain
Ø Milk
Tam dan Milk Naqish
Ø Milk
Mutamayyas dan milk Masya’
2) Bagian Kedua: Konsep umum Akad
1.
Akad
a.
Pengertian Akad
Akad
(al-‘aqd, jamaknya al-‘uqud) secara etimologi
(bahasa) berarti al-rabth yaitu ikatan,
mengikat. Jadi secara etimologi
akad berarti ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun secara
maknawi, dari satu segi maupun dua segi.[9] Sedangkan menurut terminologi akad adalah hubungan
antara ijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh syari’at yang mempunyai
pengaruh secara langsung pada objeknya.[10]
b.
Macam-
macam Akad
Pembagian
macam-macam dan jenis akad dapat dilakukan dari berbagai aspek dan sudut
pandang yang berbeda-beda:
1.
Akad Shahih dan
Ghoiru Shahih
2.
Akad Musammah
dan Akad Ghoiru Musammah
3.
Dari segi Maksud
dan Tujuan
3) Bagian Ketiga: Aneka Macam Akad Khusus
Ruang lingkup pembahasan ini meliputi berbagai macam akad
(transaksi) muamalah seperti:
1.
Jual-beli
(al-bai’)
a.
Pengertian jual
beli
Secara
bahasa, jual beli terdiri
dari dua kata yaitu jual dan beli. Kata jual berasal dari bahasa Arab ( البَيْع ) merupakan masdar dari ( بَاعَ ) yang berarti
tukar-menukar/saling tukar, dan kata beli berasal dari kata ( الشِرَاء ).
Sedangkan secara terminologi jual-beli adalah pemilikan
suatu barang yang bersifat harta dengan penggantian berdasarkan ijin syara’
atau pemilikan manfaat yang boleh untuk selamanya dengan membayar harganya. [12]
b.
Rukun Jual-Beli
dan Syaratnya
· Rukun
Jual-Beli:
1.
Shighat adalah
ucapan ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan)
2.
Dua orang yang
bertransaksi, yaitu penjual dan pembeli
3.
Objek akad,
yaitu harga dan barang
· Syarat
Sahnya Jual-Beli:
1.
Kerelaan dari
penjual dan pembeli atau yang mewakili keduanya
2.
Penjual dan
pembeli adalah orang yang merdeka, dewasa, dan mengerti
3.
Barang yang
diperjual belikan termasuk barang yang dibolehkan dan bermanfaat
4.
Barang yang
diperjual belikan adalah milik penjual sendiri atau yang di izinkan untuk diperjual belikan pada waktu akad
5.
Barang yang
diperjual belikan bisa diketahui lewat sifatnya atau menyaksikannya
6.
Harganya harus
sudah jelas
·
Macam-Macam Jual Beli
a. Jual beli Gharar
b. Jual beli Mulaqih
c. Jual beli Mudhamin
d. Jual beli Hushah
e. Jual beli Muhaqalah
f.Jual beli Munabazah
g. Jual beli
Mukhabarah
h. Jual beli Tsunayya
i. Jual beli ‘Asb Al
Fahl
j. Jual beli Mulamasah
k. Jual beli ‘Urban
l. Jual beli Talqi
Rukban
m. Jual beli antara
orang desa dan orang kota
n. Jual beli Musharrah
o. Jual beli Shubrah
p. Jual beli Najasy.
·
Hak Istimewa Jual Beli
a.
Opsi ( khiyar): Khiyar Majlis, Khiyar Syarat, Khiyar ‘Aib
b.
Presemption ( Shuf’ah).
2.
Sewa-menyewa
(Ijarah)
a.
Pengertian
sewa-menyewa (Ijarah)
Ijarah
adalah
akad atas manfaat (jasa) yang dibenarkan dengan takaran yang diketahui dan
dalam waktu yang telah ditentukan.
b.
Pembagian Ijarah
Ijarah
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
v Ijarah
pada benda tertentu (Ijarah ‘Ain),
seperti perkataan pemberi ijarah, “saya sewakan kepadamu rumah atau mobil ini.”
v Ijarah
pada pekerjaan (Ijarah Al Zimmah),
seperti seorang yang mengupah orang lain untuk membangun tembok atau menjaga
kebun dan yang lainnya.
c.
Syarat Ijarah
Syarat
ijarah ada empat, yaitu:
1.
Hendaknya ia
termasuk yang boleh ditransaksikan.
2.
Diketahui
manfaatnya, seperti rumah untuk tempat tinggal, pekerjaan manusia, atau
mengajarkan ilmu.
3.
Diketahui
upahnya.
4.
Hendaknya
manfaat tersebut dibolehkan. Misalnya, rumah untuk tempat tinggal.tidak boleh
untuk manfaat yang haram, misalnya untuk berzina, nyanyian, menyewakan rumah
sebagai gereja atau untuk menjual khamr dan yang lainnya.
d.
Syarat Benda
Yang Disewakan
1.
Mengetahui
bendanya dengan cara melihatnya atau melalui sifatnya.
2.
Akadnya adalah
untuk mengambil manfaatnya, bukan bendanya.
3.
Bisa diserah
terimakan.
4.
Memiliki
manfaat.
5.
Hendaknya
dimiliki oleh orang yang menyewakan atau diizinkan untuk disewakan.
e.
Rukun Ijarah
1.
‘Aqid (orang yang akad)
2.
Shighat akad
3.
Ujrah (upah)
4.
Manfaat. [13]
3.
Utang
Piutang
a.
Pengertian Utang
Piutang ( القرض )
Utang
piutang dalam bahasa arab adalah Al-Dain (jamaknya Al-Duyun) dan al-qordh.
Dalam pengertian umum, utang piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa
menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Transaksi seperti ini dalam
fiqh dinamakan mudayanah atau tadayun.
b.
Unsur-Unsur Utang Piutang
a.
Orang yang berutang ( الدائن )
b.
Orang yang memberi utang ( المدين )
c.
Objek utang piutang
c.
Syarat Utang
Piutang
a) Ijab
qabul
b) Harta
benda
c) Akad
utang
4.
Gadai
a. Pengertian
Gadai
Istilah
yang digunakan fiqh untuk gadai adalah al-rahn. Ia adalah sebuah akad
utang piutang yang disertai dengan jaminan (agunan). Sesuatu yang dijadikan
sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin,
sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin.
5.
Pinjaman
(‘ariyah)
a. Pengertian
Pinjaman (ariyah)
Pinjaman
atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah
adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain
secara cuma-cuma (gratis), bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya,
maka hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.
b. Dasar
Hukum ‘Ariyah
Menurut
Syyaid Sabiq, ‘ariyah adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib
ketika awal Islam. Adapun landasan hukumnya. “Dan tolong menolonglah kamu
untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk
berbuat dosa dan permusuhan” (al-Maidah: 2) “Sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (al-Nisa:
58) “Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah
kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud).
c.
Rukun dan Syarat
‘Ariyah
Lenurut
Hanafiyah, yaitu ijab dan qabul, tidak wajib diucapkan tapi cukup
dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam dan boleh hukum ijab qabul dengan
ucapan. Menurut Syafi’iyah, rukun ‘ariyah sebagai berikut:
1)
Kalimat mengutangkan
(lafadz).
2)
Orang yang
mengutang (mu’ir) dan orang yang menerima utang(mista’ir).
3)
Benda yang
diutangkan.
6.
Riba
a.
Pengertian Riba
Riba
secara bahasa berarti penambahan,
pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian.. Dikatakan
raba al-maalu apabila harta itu bertambah dan berkembang. Atau, arba
‘ala khamsin, yakni bertambah dari harga lima puluh. Istilah riba ditujukan
kepada semua bentuk jual beli yang diharamkan. Adapun riba secara istilah “tambahan
pada sesuatu yang dikhususkan.”
b.
Hikmah
Diharamkannya Riba
Islam mengharamkan riba
karena beberapa alasan, berikut ini:
1)
Ketidak samaan
antara usaha dan hasil.
2)
Hancurnya
tatanan ekonomi masyarakat karena enggannya pemilik modal untuk bekerja.
3)
Merosotnya
4)
moral masyarakat, karena tidak ada tolong
menolong antara anggotanya.
5)
Terbaginya
masyarakat yang menjadi dua golongan yang saling bertentangan.
c.
Macam-Macam Riba
Menurut
mayoritas ulama riba dibagi
tiga,
yaitu: Riba Nasi’ah,
Riba
Al Fadhl dan
riba’al
yadd.
Ø Riba nasi’ah adalah penambahan pada
salah satu pengganti disebabkan keterlambatan pembayaran.
Ø Riba fadhl secara
bahasa bararti lawan dari kurang. Riba fadhl adalah tambahan pada salah
satu dari dua barang transaksi yang sama jenisnya, seperti tukar menukar emas
dengan emas dan sebagainya.
Ø Riba al yadd
(tangan): Jual beli dengan mengakhirkan
penyebaran kedua barang ganti,atau salah-satunya tanpa menyebutkan waktunya. [15]
[2] Prof. Dr. H. Rachmad
Syafe’i, MA. Fiqih Muamalah, ( Bandung: CV.
Pustaka Setia. 2001),hlm 13-16.
[4] Drs.H.Hendi
Suhendi,M.Si. Fiqh Muamalah. Jakarta 2002. hal: 9-12
[5] Prof. Dr. H.
Rachmad Syafe’i, MA. ibid, 2001, hlm 32-42.
[7] Drs.Hendi Suhendi,M.Si. Fiqh Muamalah.
Jakarta 2002.hal: 34-35
[10]
Prof . Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam,
Fiqih Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam), Jakarta: Amzah,
2010, Hlm. 17.
[11]Drs.Ghufroh
A.Mas’adi,M.Ag, ibid, Jakarta 2002. hal: 75-108.
[12] Al Allamah Syeikh Muhammad bin
Qasim, Abu Bakar Muhammad, Fiqih Islam Terjemah Fathul Qarib, Surabaya:Karya
Abditama,1995. hlm. 141-142.
[13]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis
–Garis Besar Fiqih, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003, hlm. 201-219.
[15]
Prof.DR.Shalih Bin Ghanim As-Sadlan
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih Islam. Surabaya 2007.
hal: 145-161
DAFTAR PUSTAKA
1.
Amir Syarifuddin. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu.
2.
Syafe’i, Rachmad, MA. 2001. Fiqih Muamalah.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
3.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqih
Muamalat (Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam). Jakarta: Amzah.
4.
Al Allamah Syeikh Muhammad bin Qasim, Muhammad, Abu
Bakar. 1995. Fiqih Islam Terjemah Fathul Qarib. Surabaya: Karya Abditama.
5.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis –Garis Besar Fiqih. Jakarta
Timur: Prenada Media.
6.
A.Mas’adi, Gufron.
2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
7.
As-Sadlan, Shalih Bin Ghanim, Shalih AL-Munajjid, Syaikh Muhammad. 2007. Intisari Fiqh
Islam. Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera.
8.
Suhendi, Hendi.
2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar