Selasa, 15 Mei 2012

IMAM-IMAM MUJTAHID DAN POLA PEMIKIRANNYA


POLA PEMIKIRAN DAN DASAR-DASAR ISTINBATH HUKUM PARA IMAM MADZHAB

A.  Imam Hanafi
A.I. Asal-usul Madzhab hanafi dan Pola Pemikirannya
       Nama madzhab ini diambil dari ulama yang bernama an-Nu’man bin Tsabit (80-150 H), yang lebih dikenal dengan julukan atau gelar Imam Abu Hanifah. Ada beberapa riwayat tentang asal usul beliau mendapat julukan atau gelar tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa nama itu disebabkan karena salah satu anaknya bernama Abu Hanifah. Ada lagi yang meriwayatkan karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta untuk menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, maka beliau dijuluki dengan Abu Hanifah karena hanifah dalam bahasa Irak berarti “tinta”. Sementara riwayat yang lain menyatakan bahwa gelar tersebut diberikan oleh masyarakat karena ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah kepada Allah, gelar ini diambil dari bahasa Arab hanif yang berarti yang berpegang teguh pada ajaran yang benar.
       Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah, Irak pada tahun 80 Hijriyah. Ayah beliau, Tsabit, adalah pedagang sutera dari Persia yang juga diwarisi oleh Abu Hanifah. Sebagai pedagang sutera beliau dikenal sebagai orang yang selalu benar, jujur serta amanah dalam berdagang. Kendati demikian, Abu Hanifah tetap mempunyai kecenderungan yang tinggi dalam memperdalam ilmu-ilmu agama. Beliau terkenal sebagai orang yang sangat cerdas, kecerdasan beliau dapat diketahui dari pengakuan para tokoh dan ulama semasanya.
       Dalam belajar fiqh, beliau belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang merupakan salah satu ulama besar pada saat itu. Beliau menimba ilmu dari gurunya tersebut selama kurang lebih 18 tahun, hingga gurunya tersebut meninggal pada tahun 120 H. Beliau juga berguru kepada ‘Atha bin Abi Rabah, Hisyam bin Urwah, Nafi’ Maula bin Umar.
       Menurut A. Rahman I. Doi, Abu Hanifah ini adalah salah seorang tabi’in sebab sempat menyaksikan zaman pada saat sahabat-sahabat nabi masih hidup. Beberapa sahabat tersebut adalah Anas bin Malik (w. 93 H), Sahal bin Sa’ad (w. 91 H), Abu Thubail Amir bin Wathilah (w. 100 H) dan Abdullah bin Abi Aufah. Bahkan Abu Hanifah pernah berjumpa dengan Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
       Abu hanifah menjadi ulama terkenal serta sangat disegani dan banyak orang menuntut ilmu darinya. Di saat Khalifah Abi Ja’far al-Mansur membangun kota Baghdad, Abu Hanifah diminta oleh oleh khalifah untuk menjadi qadhi (hakim). Namun permintaan itu ditolaknya sehingga beliau disiksa dan dipenjara. Imam besar ini akhirnya meninggal dunia di penjara. Dan menurut salah satu riwayat, beliau meninggal karena diracun oleh khalifah karena banyak orang yang berkunjung ke penjara untuk menimba ilmu dariya. Beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H.

A.II. Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Hanafi
       Seperti diakui Muhammad Abu Zahra, sebagaimana dikutip Mun’im A. Sirry, kesulitan yang terbesar dalam mengkaji pemikiran Abu Hanifah terletak pada tidak adanya buku-buku yang secara substansial memuat pemikiran dan metodologi madzhab Hanafi. Yang ada saat ini adalah berupa periwayatan dari murid-muridnya, seperti yang ditulis Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani.
       Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahli Ra’yi. Meskipun Abu Hanifah pernah bermukim di Mekkah dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau jumpai, akan tetapi pengalaman yang beliau peroleh dari luar kufah digunakan untuk memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara metodologi kajian fiqhnya mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua.
       Apabila beliau tidak menemukan ketentuan yang tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik dalam bentuk ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara eksplisit tentang persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang ditaati secara bersama-sama.
       Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Aku mengambil hukum berdasarkan al-Qur’an, apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka aku gunakan as-Sunnah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya (al-Qur’an dan as-Sunnah), maka aku dasarkan pada pendapat para sahabat dan aku tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada pendapat satu saja.” Beliau juga berkata: “Aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad dan berpegang kepada kebenaran yang didapat seperti mereka juga.”
       Untuk lebih jelasnya, dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan urutannya, yaitu:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah. Kualifikasi as-Sunnah ini harus shahih, mutawatir dan juga dikenal secara luas (masyhur). Madzhab Hanafi menolak menggunakan hadis uang diriwayatkan oleh satu orang saja yang disebut hadis ahad.
3.      Perkataan sahabat
4.      Al-Qiyas
5.      Al-Istihsa, yaitu berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
6.      Al-‘Urf, yaitu tradisi masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau dengan perkataan lain adalah adat kebiasaan. Tentu saja ‘urf ini harus sejalan dengan semangat syari’ah, sedangkan ‘urf yang bertentangan dengan jelas ditolak oleh madzhab Hanafi.
       Sebenarnya, menurut Mun’im A. Sirry, yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan para imam yang lain adalah terletak pada kegemarannya menyelami semua hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyari’atkannya suatu hukum. Perbedaan lebih tajam lagi, lanjut Mun’im, adalah bahwa Abu Hanifah banyak mempergunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadis ahad. Tidak seperti para imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangkan ‘illat, hikmah, tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahami.
       Contoh produk fiqh Abu Hanifah sebagai imam ahli fikir (Ahlir Ra’yi), yaitu: “Seseorang ketika di malam yang gelap atau di saat-saat yang sulit hendak menentukan arah kiblat, maka hukum shalatnya adalah sah, meskipun didapati ternyata dia tidak menghadap kiblat, tetapi dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.”
       Madzhab Hanafi ini hingga saat ini berkembang di sebagian besar penduduk Irak, Mesir, Turki, Syiria, Syam hingga orang-orang muslim India, Pakistan, Afghanistan dan orang-orang muslin Cina.

B.  Imam Maliki
B.I.  Asal-usul Madzhab Maliki dan Pola Pemikirannya
       Nama madzhab Maliki dinisbatkan dari seorang ulama yang bernama Imam Malik bin Anas (93-179 H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi ahli fiqh yang terkenal di Madinah. Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan kota ini kecuali pada waktu melaksanakan ibadah haji. Mengenai tahun kelahirannya terdapat beberapa perbedaan. Ibnu Khaliqan mencatat bahwa tahun lahirnya adalah 75 H, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa dia lahir 94 H.
       Masa muda Malik disibukkan dengan menuntut ilmu. Mula-mula ia menghafal as-Sunnah, atsar dan fatwa-fatwa sahabat. Malik bin Anas mulai belajar dan menghafal al-Qur’an dan pada usia yang sangat muda telah hafal seluruh al-Qur’an. Setelah itu beliau mulai belajar dan menghafal hadis. Guru beliau dalam hadis antara lain: Ibnu Syihab az-Zuhri, Ibnu Hurmuz, dan Nafi’. Sementara guru beliau dalam bidang fiqh adalah Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id al-Anshari.
       Situasi ketika Malik hidup juga memberikan pengaruh besar terhadap sikap konsistensinya pada hadis dan keengganannya pada ijtihad rasio. Selama 40 tahun ia hidup dalam periode Umayyah dan 46 tahun dalam periode Abbasiyah. Masa-masa ini merupakan orde penuh gejolak dan sarat gelombang fitnah dan politik. Dalam lapangan politik, misalnya, munculnya aliran Syi’ah dan Khawarij. Dalam teologi muncul aliran Qadariyah, Jahmiyah dan Murji’ah. Dalam upaya membela madzhab-madzhabnya, kadang-kadang mereka menggunakan hadis-hadis nabi secara serampangan. Akibatnya timbul hadis-hadis palsu dan pertentangan di kalangan masyarakat.
       Akibat dari kecerobohan-kecerobohan terhadap hadis-hadis Nabi itu, Imam Malik merasa perlu untuk meneliti riwayat-riwayat hadis. Dari sinilah lahir bukunya yang monumental, ¬al-Muwattha’, yang memuat hadis-hadis shahih, perbuatan-perbuatan orang-orang Madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in yang disusun secara sistematis mengikuti sistematika penulisan fiqh. Keistimewaan buku ini adalah bahwa Imam Malik memerinci berbagai persoalan dan kaidah-kaidah fiqhiyah yang diambil dari hadis-hadis dan atsar. Buku yang berjudul al-Muwattha’ dan disusun selama 40 tahun ini bermakna “kemudahan” dan “kesederhanaan”, karena penulisannya yang diusahakan sebaik mungkin untuk memudahkan dan menyederhanakan kajian-kajian hadis dan fiqh.

B.II. Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Maliki
       Imam Malik sendiri sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka madzhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Malik kemudian menuliskannya. Dalam Muwattha’, Malik secara jelas menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia juga mengambil hadis munqathi’ dan mursal sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah itu.
Secara lebih jelas dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Maliki adalah sebagai berikut:



1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah. Berbeda dengan Abu Hanifah yang mensyaratkan dengan kualifikasi tertentu, Imam Malik meski mengutamakan hadis mutawatir dan masyhur, juga menerima hadis ahad asalkan tidak bertentangan dengan amal (praktik) ahli Madinah.
3.      Amal ahli Madinah (praktik masyarakat Madinah). Imam Malik berpendapat bahwa Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan oleh masyarakat Madinah mesti diperbolehkan, atau bahkan dianjurkan oleh Nabi Saw. Oleh karena itu, Imam Malik beranggapan bahwa praktik masyarakat Madinah merupakan bentuk as-Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan.
4.      Fatwa Sahabat.
5.      Qiyas
6.      Al-Mashlahah Al-Mursalah, yakni menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang tidak ada petunjuk nyata dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar mujtahidnya.
7.      Al-Istihsan
8.      Adz-Dzari’ah. yakni Imam Malik menetapkan hukum dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari suatu perbuatan. Jika perbuatan itu akan menimbulkan mafsadah meski hukum asalnya boleh, maka hukum perbuatan tadi adalah haram. Sebaliknya, jika akan menimbulkan maslahah, maka hukum perbuatan tadi tetap boleh atau bahkan dianjurkan atau meningkat menjadi wajib.
Penganut madzhab Maliki ini sampai sekarang banyak pengikutnya dan mereka tersebar di negara-negara, antara lain: Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.

C.   Imam Syafi’i
C.I.  Asal-usul Madzhab Syafi’i dan Pola Pemikirannya
       Sebagaimana nama madzhab-madzhab sebelumnya, nama madzhab ini juga diambil dari nama imam yang menjadi tokoh utama yang pemikirannya banyak diikuti oleh pengikut madzhab ini. Beliau adalah Imam Abdullah bin Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang lahir bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah yaitu 150 Hijriyah di daerah yang bernama Ghazzah, salah satu kota di daerah Palestina, dan wafat di Mesir tahun 204 H (822). Ayah beliau meninggal ketika masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya ke Mekkah.
       Dalam usia anak-anak, sekitar 9 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menghafal hadis-hadis Nabi. Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang demikian tinggi ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan (badawah). Dari sana Imam Syafi’i menguasai sastera Arab untuk memahami teks al-Qur’an dan hadis dengan baik.
       Dalam bidang hadis, di Mekkah ia berguru kepada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid. Ia menghafal ¬al-Muwattha’ sebelum bertemu penulisnya, Imam Malik. Konon ia menghafalnya hanya dalam waktu 9 hari.
       Pada diri asy-Syafi’i terkumpul pemikiran fiqh fuqaha Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi – seperti dikutip Mun’im – mengatakan bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya pernah menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai persoalan dengannya.
       Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik selama 3 tahun di Hijaz, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana membuat Imam sy-Syafi’i cenderung pada aliran hadis, bahkan mengaku sebagai pengikut madzhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke Baghdad, Irak, dan menetap di sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqh Abu Hanifah dan pemikiran rasional Ahlur Ra’yu, maka mulailah ia condong pada aliran Ahlur Ra’yu. Apalagi setelah ia rasakan sendiri tingkat kebudyaan di Irak sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah kehidupan berikut problematikanya yang seringkali tidak ditemukan ketentuan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
       Kedua kondisi yang berbeda ini dapat diikuti dengan cermat sehingga melahirkan suatu sintesa pemikiran fiqh moderat antara Ahlul Hadis dan fiqh Ahlur Ra’yi. Imam Syafi’i dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan Imam Malik dan juga melakukan koreksi terhadap pengikut-pengikut madzhab Hanafi. Dari kritik-kritik kedua madzhab itu akhirnya muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab tersebut.
       Kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat memengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan madzhab fiqhnya. Munculnya apa yang disebut qaul jadid dan qaul qadim membuktikan hal tersebut. Madzhab qaul qadim dibangun di Irak tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqh rasional. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Lahirnya madzhab jadid ini merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz dan Irak.

C.II. Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i
       Posisi tengah Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar madzhabnya. Sebagaimana madzhab-madzhab lainnya, Imam Asy-Syafi’i menempatkan al-Qur’an dalam sumber yang pertama dan utama. Namun baginya, as-Sunnah juga menempati satu tingkat yang sama dengan al-Qur’an, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Menurutnya, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-Qur’an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam al-Qur’an. Karenanya, Sunnah Nabi Saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan al-Qur’an.
       Imam asy-Syafi’i di samping tetap teguh berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah, juga pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Secara ringkas, dasar-dasar madzhab Syafi’i dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Ijma’. Imam Syafi’i berpandangan bahwa kemungkinan ijma’ berarti persamaan faham atau kesepakatan seluruh ulama atas suatu persoalan pada satu masa merupakan hal yang sulit terjadi, karena jauhnya jarak dan sulitnya komunikasi di antara para ulama tersebut. Namun demikian, ia tetap mengakui adanya ijma’ dan memeganginya sebagai dalil dan mungkin terjadi adalah ijma’ sahabat dalam persoalan-persoalan tertentu.
4.      Perkataan Sahabat
5.      Al-Qiyas
6.      Al-Istishab, yaitu membiarkan suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya hingga ada dalil lain yang menggantikannya. Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan: “Apabila seseorang melakukan suatu perjalanan dan ia membawa air, kemudian ia menduga bahwa air tersebut tercampuri najis, tetapi ia tidak yakin akab terjadinya percampuran tersebut, maka dalam hal ini air tersebut tetap dihukumi suci, bisa dibuat wudhu’ maupun diminum, hingga orang tersebut yakin benar bahwa air itu telah tercampuri najis.”
       Pengikut-pengikut madzhab Syaf’i ini di antaranya di daerah-daerah seperti Mesir, Afrika Timur, Persia dan Malaysia, Indonesia, Khurasan, Syiria, Armenia, Ceylon, Tiongkok dan Filipina Selatan.

D.   Imam Hanbali
D.I.  Asal-usul Madzhab Hanbali dan Pola Pemikirannya
       Nama ulama yang dijadikan sebagai nama madzhab ini adalah Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir pada tanggal 20 bulan Rabi’ul Awwal tahun 146 H di Baghad dan juga wafat di tempat kelahirannya itu pada tahun 231 H. Imam Ahmad menjadi yatim sejak kecil sehingga tidak sempat mengenal ayahnya dengan baik.
       Ahmad bin Hanbal telah hafal al-Qur’an pada usia relatif masih muda. Kemudian ia tekun belajar ilmu hadis, bahasa dan masalah-masalah administrasi. Ia banyak menimba ilmu dari sejumlah ulama dan fuqaha besar antara lain Abu Yusuf, seorang hakim dan murid Abu Hanifah. Dari Abu Yusuf ini ia mengenal pelajaran ahli fiqh Ahlur Ra’yi.
       Setelah beberapa lama mempelajari fiqh Ahlur Ra’yi, ia beralih pada kajian-kajian Sunnah yang dipelajarinya dari Hisyam bin Basyir bin Abi Khazim al-Wasithi (w. 183 H), seorang tokoh ahli hadis di Baghdad. Selama empat tahun dari gurunya ini ia memperoleh pengetahuan hadis yang sangat luas dan menulis sekitar 300.000 hadis. Di masjid al-Haram dan kemudian di Baghdad, ia berguru pada Imam Syafi’i dalam bidang perumusan dan teknik pengambilan hukum.
       Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah al-Musnad yang menghimpun 40.000 buah hadis dari hasil seleksinya terhadap 700.000 hadis. Karyanya ini membuatnya dikenal sebagai ahli hadis. Namun demikian ia juga telah melahirkan fatwa-fatwa fiqh dan mempunyai teori-teori kajian fiqh tersendiri, serta memiliki para pengikut yang turut menyosialisasikan fatwa-fatwa maupun teori-teorinya tersebut, hingga terbentuklah madzhab Hanbali.

D.II. Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i
       Dalam memberikan fatwa tentang urusan dan hukum agama, Imam Ahmad tergolong orang yang sangat hati-hati. Diriwayatkan beliau tidak akan memberikan jawaban dengan terburu-buru atas persoalan yang dilontarkan padanya sebelum tahu dan faham dengan benar persoalan tersebut.
       Dalam proses kajian hukumnya, Imam Ahmad menetapkan dan menggunakan dasar-dasarnya sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Perkataan Sahabat
4.      Hadis Mursal, yaitu hadis yang terputus sanadnya di tingkat sahabat atau tabi’in.
5.      Al-Qiyas, Imam Ahmad memiliki banyak murid, di antara mereka adalah: Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (pengumpul hadis yang terkenal), Yahya bin Adam, Abu Daud, ar-Razi. Sementara para pengikut madzhab Hanbali yang terkenal adalah: Abu al-Wafa’ ibnu Aqil, Taqiyuddin ibnu Taimiyyah dan Muhammad ibnu al-Qayyim.

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM



A.    PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Ada beberapa istilah kunci yang tetap muncul ketika membicarakan hukum Islam, yakni syari’at, fiqh, qanun, fatwa, qadha, siyasah syar’iyah dan hukum. Hukum Islam pada hakikatnya adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Mengingat pentingnya peristilahan ini, setiap orang dan kelompok cenderung memahaminya sesuai dengan kerangka pikirnya masing-masing.
Kata hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran, namun yang ada dalam Alquran adalah kata syari’at, fiqh, hukm dan yang seakar dengannya. Dalam literatur Barat, hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”.
Secara harfiah kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti jalan yang lurus. Menurut Abu Aal-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, perkataan syariah berarti sesuatu yang terbentang jalan kepadanya.
Menurut ijma’ ulama syari’at ialah hukum-hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya yaitu Muhammad saw, baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut sebagai “hukum-hukum cabang amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqih atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang disebut dengan hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu kalam. Syari’at (Syara’) disebut juga agama (al-din dan millah).[1]
 Menurut  Manna’ al-Qaththan sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman Djamil syari’at adalah segala ketentuan Allah swt yang disyari’atkan kepada hamba-Nya baik menyangkut akidah, akhlak maupun mu’amalah.
Istilah syariah sebenarnya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan akhlak. Dengan demikian syariah mengandung arti bertauhid kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari pembalasan. Singkatnya syariah mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi berserah diri kepada Tuhan (Muslim).[2]
Menurut pendapat al-Amidi fiqh ialah ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang bersifat furu’iyah (cabang) yang didapatkan melalui penalaran atau penelitian dan istidlal.
Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan kepada pemikiran dan perenungan. Oleh karena itu Tuhan tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqih), karena bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas.
Dengan demikian fiqih bukanlah syari’at, melainkan produk atau hasil dari syari’at itu sendiri yang digali para mujtahid (orang yang melakukan penelitian terhadap dalil baik itu Alquran maupun hadis). Ia hanya membicarakan amaliyah furu’iyah yang didasarkan pada dalil-dalil terperinci. Dalil yang digali itu sifatnya zhanny (dapat diinterpretasikan) bukan qath’iy (yang tidak dapat diinterpretasikan).
Penerapan fikih ini dalam kehidupan sehari-hari bisa dalam bentuk fatwa ketika warga Muslim mempertanyakan ketentuan sesuatu hal kepada tokoh yang dianggap paling tahu fikih, yang dikenal dengan nama mufti. Fatwa lebih merupakan upaya sukarela masyarakat untuk menerapkan panduan Ilahi dalam mengatur tindak-tanduk mereka, dan oleh karenanya ia lebih merefleksikan kondisi riil masyarakat.[3]
Mohammad Daud Ali mengatakan bahwa kalimat hukum yang dipakai dalam bahasa Indonesia saat ini berasal dari kata hukm ( ﺤﻛﻢ) yang artinya norma atau kaidah ; ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Kata ha-ka-ma dalam bahasa Arab dapat juga dimaknai dengan mencegah atau menolak. Mencegah ketidakadilan, kezaliman dan penganiayaan disebut hukum.
            Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.
            Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkritkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.Ada dua kategori hukum yang lahir dari perintah Allah, yakni wajib dan sunnah, sedangkan firman dalam bentuk larangan melahirkan hukum haram dan makruh.[4]

1. PROSES TRANSFORMASI HUKUM FIQIH
 Perpindahan transformasi hukum telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw. Hukum yang dikeluarkan disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Setelah Nabi hukum-hukum itu disebarkan oleh para sahabat Nabi yang ada, baik itu sebelum Nabi wafat maupun sesudah Nabi wafat hingga masa Khulafaurrasyidin. Pembinaan hukum pada masa Fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan.
Di dalamnya munculah para Fuqaha yang menjadi tumpuan taklid keagamaan serta munculnya murid-murid mereka yang menerangkan pendapat-pendapat mereka dengan tidak adanya kemerdekaan mereka dalam penisbatan ini. Lalu pembinaan itu semakin kompleks permasalahannya dengan munculnya buku-buku besar atau karangan-karangan dari para Imam yang membahas masalah tersebut. Sampai saat ini hukum-hukum Islam itu masih kita pegang teguh (yang berupa al Quran dan al Hadits) dengan didukung oleh kemampuan pemikir fiqih kontemporer.
2. PERANAN IMAM-IMAM MUJTAHID
Peranan Imam-imam mujtahid di dalam penentuan hukum Islam sangat penting, karena pemikiran mereka nantinya akan diikuti oleh umat muslim lainnya. Apalagi ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya kewajiban orang Islam, apabila ia sendiri sukar mencapai hukum langsung dari dalil-dalilnya, ialah bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak mesti ia menganut suatu madzhab tertentu, karena tidak ada kewajiban kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan suatu madzhab dari imam-imam itu.
Adapun syarat-syarat mujtahid adalah
1.      Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang al Quran. Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya. Misalnya, tentang 'amm (lafal umum),
khass (lafalkhusus), mutlaq (lafal mutlak), muqayyad (lafal yang terbatas), dan lain lain.
2.      Memiliki pengetahuan yang baik tentang sunnah Rasulullah saw. Pengetahuan tersebut harus dimiliki seorang mujtahid karena sunah merupakan penjelas (al Bayan) dari al Quran dan sumber hukum Islam kedua setelah al Quran. Pengetahuan itu meliputi segala ilmu yang berkaitan dengan sunah, yaitu ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah, ilmu jarh wa ta'dil, asbabul wurud dan ilmu lainnya yang terkait.
3.      Mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijmak ulama terdahulu. Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma' serta persoalan-persoalan yang telah disepakati hukumnya oleh para ulama'.
4.      Mengetahui bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab. Seperti di dalam surat Yusuf ayat 2.
اِنَّا أَنْزَلْنَه ُقُرْءَناًعَرَبِياًّلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ (يوسف: 2)
5.      Menguasai ilmu ushul fiqih. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqih secara baik, karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengistinbatkan hukum syara' dari al Quran dan sunah.
6.      Memahami maksud-maksud syara' secara jeli dan baik. Syarat ini diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum yang dikandung oleh nusus terhadap persoalan hukum yang dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah swt dalam mensyariatkan hukum.

C.    DAMPAK PERBEDAAN PENDAPAT ANTAR ULAMA
Perbedaan yang muncul dari para ulama disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Berbeda pengertian perkataan. Ini merupakan bab yang luas yang terjadi karena kata-kata yang jarang dipakai, kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu, adanya pengertian kiasan di samping pengertian hakiki dan perbedaan urf mengenai arti sesuatu perkatan yang dipakai.
2. Riwayat (kejadian bahwa ada hadits yang sampai pada sebagian dan tidak sampai kepada sebagian yang lain atau sampai dengan cara yang tidak memungkinkanhadits itu dijadikan hujjah, sedang kepada lainnya sampai dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi hujjah; atau sampai kepada kedua-duanya dari satu jalan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang memberi nilai kepada salah seorang perawi yang menyampaikan hadits itu.
3. Berlawanan dalil mengenai qaidah-qaidah yang sebagian menerimanya sedang yang lain tidak menerimanya.
4. Berlawanan dan mentarjihkan.
5. Qias.
6. Dalil-dalil yang diperselisihkan tentang boleh tidak memakainya.[5]
Dampak yang ditimbulkan dari perbedaan para ulama ini sangat banyak, diantaranya:
1. Munculnya madzhab dari beberapa para imam
2. Munculnya berbagai aliran-aliran / faham-faham
3. Banyak terjadi perdebatan-perdebatan terutama masalah fiqih


[1] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000.hlm. 38.

[2] Muhammad Ali al-Sais. Nasy’at al-Fiqh al-Ijtihadiy wa Athwaruh. Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah.1970. hlm. 8-9.
[3] Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1989. hlm.  9.

[4] Ridwan Lubis. Setengah Abad Proses Transformasi Pemikiran Islam Di Indonesia.1995. hlm. 1.

[5] http://Library For Children's  STUDY FIQIH, HAKIKAT FIQIH.htm