A. Pengertian Nikah
Nikah, menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya
kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij
yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna
menyetubuhi istri. Sedangkan nikah menurut istilah adalah akad serah terima
antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta
masyarakat yang sejahtera.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1
disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk kekuarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan demikian pernikahan adalah suatu akad yang secarakeseluruhan aspeknya
dikandung dalam kata nikah atau tazawij dan merupakan ucapan seremonial yang
sakral.
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan
biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat
perkawinan tersebut.[1]
Sesuai dengan pernyataan Allah dalam Al Quran:
Artinya:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah. (QS. Al-Dzariyat [51]:49)
Hukum nikah ada lima:
1. Jaiz
(diperbolehkan), ini asal hukumnya.
2. Sunnah,
bagi orang yang berkehendak serta cukup belanjanya (nafkah dan lain-lainnya).
3. Wajib,
atas orang yang cukup mempunyai belanja dan dia takut akan tergoda pada
kejahatan (zina).
4. Makruh,
terhadap orang yang tidak mampu member nafkah.
5. Haram,
kepada orang yang berniat menyakiti atas perempuan yang dikawininya.[2]
B.
Syarat dan Rukun
Nikah
Rukun,
yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudlu dan takbiratul ikhram dalam shalat.[3]Atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
Syarat,
yaitu sesuatu yang mestti ada menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti menutup aurat untukk shalat”atau menurut islam calon pengantin
laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.
Sah,
yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
Adapun rukun
nikah:
1.
mempelai laki-laki
2.
Mempelai perempuan
3.
Wali Nikah, adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai
hubungan darah dengan calon mempelai wanita. Dalam keadaan luar biasa, wali
nasab yang digantikan oleh wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali
nasab tersebut tidak ada atau tidak ditemukan. Demikian pula jika wali nasab
tidak mau atau tidak bersedia menikahkan calon mempelai wanita, maka wali
hakimlah yang bertindak untuk menikahkannya.
4.
Dua orang saksi
5.
Ijab Qabul, menurut pengertian hukum perkawinan, ijab
adalah penegasan kehendak untuk mengikatkan diri pada kehendak untuk mengikatkan diri dalam ikatan
perkawinan (wali) pihak wanita kepada calon mempelai pria. Contoh ijab:
“Wahai Fulan, saya nikahkan engkau dengan anak yang bernama A (Fulanah) dengan
maskawin 10 gram emas tunai. Kabul, adalah penegasan untuk menerima
ikatan perkawinan tersebut, yang diucapkan oleh mempelai pria. Contoh kabul:
“Saya terima nikah dengan putri bapak yang bernama A (Fulanah) dengan maskawin
10 gram emas tunai.” Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh mempelai
pria langsung sesudah ucapan penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak
mempelai wanita. Tidak adanya tenggang waktu yang mengesankan adanya
keragu-raguan.[4]
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat pernikahan adalah
syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi
calon mempelai wali, saksi, dan ijab kabul.[5]
· Syarat-syarat
Suami:
1.
Bukan mahram dari calon istri;
2.
Tidak terpaksa atas kemauan sendiri;
3.
Orangnya tertentu, jelas orangnya;
4.
Tidak sedang ihram;
·
Syarat-syarat Istri:
1.
Tidak ada halangan syara’, yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah;
2.
Merdeka, atas kemauan sendiri;
3.
Jelas orangnya; dan
4.
Tidak sedang berihram.[6]
· Syarat Wali dan Dua
Saksi :
1. Islam
2.
Balig (sudah berumur 15 tahun)
3.
Berakal
4.
Merdeka
5.
Laki-laki
6.
Tidak dipaksa
7.
Tidak sedang ihram
8.
Adil[7]
C.
Rukun
dan Syarat Akad Nikah
Rukun
adalah bagian dari hakekat sesuatu, akad nikah mempunyai beberapa rukun yang
berdiri dan menyatu dengan substansinya. Diantara rukun akad nikah adalah Ijab
dan Qabul yang mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai
arti membantu maksud berdua dan menunjukkan tercapainya ridho secara batin.
Maksud Ijab dalam akad nikah seperti Ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu
pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi,
baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya
keinginan terjadinya akad baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak
istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang dating dari pihak kedua baik
berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan dan
ridhonya.
Sihgat akad (lafal akad)
adalah Iijab dan Qabul. Keduanya menjadi rukun akad. Berikut ini akan
dijelaskan beberapa syarat ijab qabul :
1. Sighat
akad berbentuk kata kerja (fi’il).
2. Lafal
yang jelas maknanya.
3. Adanya
persamaan Ijab dan Qabul.
4. Ketersambungan
Qabul dengan Iijab.
5. Tidak
meralat Ijab sebelum Qabul.
6. Sighat
akad ringkas.
7. Sighat
akad untuk selamanya.[8]
D.
Bentuk-Bentuk Perkawinan Yang Haram
1.
Mut’ah (Kawin
Sementara)
Ini merupakan suatu bentuk perkewinan terlarang yang
dijalin dalam tempo yang singkat untuk mendapatkan perolehan yang ditetapkan.
Ia diperkewnankan pada masa awal pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat
Islam ditetapkan secara lengkap. Ia diperbolehkan pada hari-hari permulaan
sewaktu seseorang melakukan suatu perjalanan atau ketika orang-orang sedang
bertempur melawan musuh. Alas an mengapa ia diperkenankan adalah bahwa
orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa peralihan dari Jahiliyah
kepada Islam. Pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal yang sangat wajar
sehingga ia tidak dianggap suatu dosa. Lalu turunlah larangan Islam tentang
bunga (Al-Riba) dan minuman keras (Al-Khamar) secara bertahap. Karena
masyarakat telah sangat akrab dengan hal-hal tersebut, sedangkan “Mut’ah” hanya
diperkenankan pada masa-masa awal karena orang –orang berjuang di medan tempur
atau “Gihazwat”. Mereka yang imannya masih lemah mencoba melakukan zina semasa
perang itu. Sedangkan orang yang kuat imannya menahan keinginannya dengan keras
untuk mengendalikan hawa nafsunya.
Abdullah bin Mas’ud
tlah berkata :
“ Kami pernah berperang
(Gihazwat) bersama Rasulullah SAW dan kami tidak menyertakan kaum wanita. Maka
kami bertanya kepada beliau, apakah kami boleh mengebiri diri kami sendiri?
Rasulullah SAW melarang
kami melakukan hal yang demikian itu, dan mengizinkan kami mengawini wanita
untuk beberapa waktu tertentu dengan memberinya pakaian”
Diriwayatkan
pula oleh Ali bin Abi Thalib : “Aku telah menjelaskan kepada Ibnu Abbas pada
waktu Perang Khaibar :
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW telah melarang Mut’ah (kawin sementara) dan makan daging
keledai.”
Setelah
Syari’at mencapai kesempurnaannya, maka ia pun diharamkan, izin sementara
keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi SAW itu, segera diharamkan setelah pembukaan
kota Makkah sebagaimana diriwayatkan
oleh Ali bin Abi Thalib :
“Sesungguhnya
dia beserta Nabi SAW pada saat terjadinya pertempuran untuk membuka Kota
Makkah. Nabi SAW telah mengizinkan para sahabat untuk kawin Mut’ah. Lalu Ali
itu berkata: “Maka Nabi SAW tidak keluar dari kota Makkah itu sampai Beliau
mengharamkannya”.
Menurut
riwayat yang lain lagi, Nabi SAW telah bersabda:
“Dan
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai Hari Akhir”.
Islam
ingin membangun sebuah masyarakat yang sejahtera, sedangkan kawin Mut’ah, kalau
diperkenankan, dapat menimbulkan lebih banyak masalah daripada yang dapat
dipecahkannya. Bila tak dilarang, maka ia akan menimbulkan pelacuran. Para
ulama telah sepakat bahwa ia diharamkan. Hanya pendapat Abdullah bin Abbas yang
bertentangan dengan kesewpakatan ini, namun segera dia melihat gawatnya keadaan
dan orang-orang menyalahgunakan bentuk perkawinan ini hanya yang diperkenqankan
dalam lingkungan perang yang betgolak, maka tak lama kemudian dia
mengharamkannya pula. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Namun
begitu, beberapa ulama mazhab Hukum Syi’ah masih memperbolehkannya bahkan
hingga saat ini, sekalipun ia jarang dipraktekkan.
2.
Al – Syighar
Al-syighar adalah istilah bahasa Arab
yang berarti mempunyai seekor anjing sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya
mengapa kata yang sama diperkenankan pada bentuk perkawinan yang tak diinginkan
ini karena ada persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar
maskawin (mahar) pada waktu menikahinya. Mahar merupakan hak seorang wanita dan
merupakan hak pribadinya, bukan semata hadiah dari pengantin lelaki untuk
dinikmati oleh orang tua pihak perempuan atau untuk mendapatkan keuntungan yang
tak layak dengan memberikan anak atau saudara perempuan seseorang untuk dikawin
secara tukar dengan mengawini anak atau saudara perempuan lelaki yang lain
sebagai hadiah (bagi satu sama lain) tanpa membayar maskawin.
Pada masa sebelum Islam, Syighar diakui
sebagai suatu bentuk perkawinan yang kemudian dilarang oleh Nabi Muhammad SAW
setelah datangnya Islam, karena bentuk perkawinan ini menghalangi wanita dari
haknya sendiri (diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
3.
Menikah dengan
Saudara sepersusuan : Kesalahan Bank Susu Modern.
Sebagaimana telah diberitahuakan dlam Surat AN-Nisa’
ayat 23, pernikahan dilarang di antara seseorang dengan saudara sepersusuannya
sama dengan saudara kandungnya. Hal itu menyebabkan perkawinannya terlarang
dalam Islam. Namun sayangnya, pada masa modern ini, ada peningkatan usaha
membentuk bank susu, tidak hanya di Eropa dan Amerika, tetapi bahkan di
beberapa negeri muslim, di mana semua bayi baru dilahirkan diberi ASI yang
berdasarkan penjelasan di atas mengakibatkan mereka termasuk ke dalam kategori
saudara sepersusuan (baik lelaki maupun perempuan). Setelah anak-anak ini
dewasa, ada kemungkinan merka menikah satu sama lain padahal sesungguhnya
mereka bersaudara sepersusuan tanpa mengetahui hubungan persaudaraan itu.
Perkawinan semacam itu tidak hanya diharamkan dalam Islam tetapi juga bahkan
dalam agama-agama lain. Nabi SAW bersabda :
“Benar, persusuan
mengharamkan seperti haramnya persaudaraan darah”
4. Pernikahan wanita dengan laki-laki yang telah
menikahi bibinya
Nabi SAW telah bersabda :
“Diriwayatkan oleh Jabir bahwa
Rasulullah SAW telah melarang seorang wanita yang akan dinikahkan dengan lelaki
yang telah menikahi bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”[9]
2.1
Thalaq
A.
Pengertian
Thalaq
Kata Thalaq dalam bahasa Arab berasal dari
kata طلق- يطلق-
طلاق yang bermakna melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat
itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti
tali pengikat perkawinan. Kata Thalaq merupakan Isim Masdar dari kata طلق- يطلق- تطليق jadi kata ini bermakna dengan
kata Tahliq yang bermakna “Irsal” dan “Tarkuk” yaitu melepaskan dan meninggalkan.
Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqh
alal madzabilil arba’ah memberi definisi talak sebagai berikut :
اَلطَّلَاقَ : إِزَالَةُ النِّكَاحِ أَوْنُقْصَانُ حَلِّهِ
بِلَفْظِ مَخْصُوْصٍ
Thalaq ialah menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata
tertentu.
Dimaksudkan dengan menghilangkan
ikatan perkawinan ialah mengangkat ikatan perkawinan sehingga setelah diangkat
ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi
dalam hal thalaq ba’in, sedangkan arti mengurai pelepasan ikatan perkawinan
ialah berkurangnya hak thalaq bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah
thalaq yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dua menjadi satu dan
dari satu menjadi hilang hak thalaq itu, yaitu terjadi dalam thalaq raj’i.[10]
Hukum Thalaq ada empat perkara :
1.
Wajib, yaitu apabila terjadi
perselisihan antara dua suami-istri, sedang dua hakim yang mengurus perkara
keduanya, sudah memandang perlu supaya keduannya bercerai.
2.
Sunnah, yaitu apabila suami tidak
sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan
tidak menjaga kehormatan dirinya.
3.
Haram (bid’ah), dalam dua keadaan: pertama
menjatuhkan thalaq sewaktu si istri dalam haid, kedua menjatuhka thalaq sewaktu
suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.
B.
Macam-macam Thalaq
Ditinjau dari segi waktu di
jatuhkannya thalaq, maka thalaq di bagi menjadi tiga macam, sebagai berikut:
a.
Thalaq Sunni, yaitu thalaq yang
di jatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Thalaq di katakan thalak sunni jika
memenuhi empat syarat:
1)
Istri yang di thalak sudah pernah
di kumpuli, bila thalaq di jatuhkan terhadap istri yang belum pernah di
kumpuli, tidak termasuk thalak sunni.
2)
Istri dapat segera melakukan
iddah suci setelah di thalaq, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut
ulama’ syafi’iyah, terhitung iddah bagi wanita haidh ialah tiga kali suci,
bukan tiga kali haidh.
Thalaq terhadap istri yang telah
lepas haid (menopousa) atau belum pernah berhaid, atau sedang hamil, atau
thalaq karena suami meminta tebusan yakni dalam hal khulu’, atau ketika istri
dalam haid, semuanya tidak termasuk thalaq sunni.
3)
Thalaq itu di jatuhkan ketika
istri dalam keadaan suci, haid di permulaan suci, di pertengahan maupun di
akhir suci kendati beberapa saat lalu datang haidh.
4)
Suami tidak pernah mengumpuli
istri selama masa suci dalam mana thalaq itu di jatuhkan. Thalaq yang di
jatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haidh tetapi pernah di
kumpuli, tidak termasuk thalaq sunni.
b.
Thalaq bid’i, yaitu thalaq yang
di jatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak
memenuhi syarat-syarat thalaq sunni. Termasuk thalaq bid’i ialah:
1)
Thalaq yang di jatuhkan terhadap
istri pada waktu haidh (menstruasi), baik di permulaan haid maupun di
pertengahannya, juga ketika istri sedang nifas.
2)
Thalaq yang di jatuhkan terhadap
istri dalam keadaan suci tetapi pernah di kumpuli suaminya dalam suci di
maksud.
c.
Thalaq la sunni wala bid’i, yaitu
thalaq yang tidak termasuk kategori thalaq sunni dan tidak pula termasuk
kategori thalaq bid’i, yaitu:
1)
Thalaq yang di jatuhkan terhadap
istri yang belum pernah di kumpuli.
2)
Thalaq yang di jatuhkan terhadap
istri yang belum pernah berhaidh, atau istri yang telah lepas haidh.
3)
Thalaq yang di jatuhkan terhadap
istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan
tidaknya kata-kata yang di pergunakan sebagai ucapan thalaq, maka thalaq di
bagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
a.
Thalaq Sharih, yaitu thalaq
dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat difahami sebagai
pernyataan thalaq atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin difahami lain.
b.
Thalaq Kinayah, yaitu thalaq
dengan mempergunakan kata-kata sindiran atau samar-samar.
Ditinjau dari ada atau tidak
adanya kemungkinan begas suami merujuk kembali bekas istri, maka thalaq dibagi
menjadi 2 macam :
a.
Thalaq Raj’i, yaitu thalaq yang
dijatuhkan suami terhadap istrinya yang ttelah pernah dikumpuli, bukan karena
memperoleh ganti harta dari istri, thalaq yang pertama kali dijatuhkan atau
yang kedua kalinya.
b.
Thalaq Ba’in, yaitu thalaq yang
tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, untuk
mengembalikan bekas istrinya, untuk mengembalikan bekas istri kedalam ikatan
perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan
rukun dan syaratnya. Thalaq ba’in ada 2 macam, yaitu :
·
Thalaq ba’in shugra dan thalaq
ba’in kubra. Thalaq ba’in suhgra ialah thalaq ba’in yang menghilangkan
pemilikan bekas suami terhadap bekas istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri, artinya bekas suami boleh
mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri baik dalam masa iddahnya maupun
sesudah berahir masa iddahnya. Termasuk thalaq ba’in suhgra ialah :
1.
Thalaq sebelum berkumpul
2.
Thalaq dengan penggantian harta
atau yang disebut khulu’
3.
Thalaq karena aib (cacat badan),
karena salah seorang dipenjara, thalaq karena penganiayaan dan yang semacamnya.
·
Thalaq ba’in kubra ialah thalaq
ba’in yang menghilangkan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan
kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali setelah
bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua
serta telah beercerai secara wajar dan telah selesai menjalani masa iddahnya.
Thalaq ba’in kubra terjadi pada thalaq ketiga. Hal ini sesuai dengan firman
Allah surat al Baqarah ayat 230 :
Artinya :
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Ditinjau
dari segi cara suami menyampaikan thalaq terhadap istrinya, thalaq ada beberapa
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Thalaq
dengan ucapan, yaitu thalaq yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan
dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu.
b. Thalaq
dengan tulisan, yaitu thalaq yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu
disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membaca dan memahami isi dan maksudnya.
Thalaq yang di nyatakan secara tertulis dapat di pandang jatuh, meskipun yang
bersangkutan dapat mengucapkannya.
c. Thalaq
dengan isyarat, yaitu thalaq yang di lakukan dalam bentuk isyarat oleh suami
yang tuna wicara. Isyarat bagi suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang
sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan
isi hati. Oleh karena itu isyarat baginya sama dengan ucapan bagi yang dapat
berbicara dalam menjatuhkan thalaq, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan
bermaksud thalaq atau mengakhiri perkawinan dan isyarat itulah satu-satunya
jalan untuk menyampaikan maksud yang terkandung dalam hatinya.
d. Thalaq
dengan utusan, yaitu thalaq yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui
perantaraan orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami itu
kepada istrinya yang tidak berada dihadapan suami, bahwa suami menthalaq
istrinya. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami untuk
menjatuhkan thalaq suami dan melaksanakan thalaq itu.
C.
Rukun
Thalaq
Rukun
thalaq ialah unsur pokok yang harus ada
dalam thalaq dan terwujudnya thalaq bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur
dimaksud. Rukun thalaq ada empat, sebagai berikut:
a. Suami, suami
adalah yang memiliki hak thalaq dan berhak menjatuhkannya, selain suami tidak
berhak menjatuhkannya. Oleh karena thalaq itu bersifat menghilangkan ikatan
perkawinan, maka thalaq tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya
akad perkawinan yang sah.
Abu Ya’la dan Al Hakim meriwayatkan Hadist dari Jabir,
bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ طَلاَقَ إِلاَّبَعْدَنِكَاحٍ وَلاَعِتْقَ
إِلاَّبَعْدَمِلْكٍ
Tidak ada thalaq kecuali setelah akad perkawinan dan
tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan.
Untuk syahnya thalaq, suami yang menjatuhkan thalaq di
syaratkan:
1) Berakal. Suami yang
gila tidak sah menjatuhkan thalaq.
2) Baligh. Tidak
dipandang jatuh thalaq yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa.
3) Atas kemauan
sendiri. Adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan thalaq itu dan
dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena dipaksa orang lain.
b. Istri, Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan thalaq
teerhadap istrinya sendiri, tidak dipandang jatuh thalaq yang dijatuhkan
terhadap istri orang lain.
Untuk sahnya thalaq, pada istri yang di thalaq
disyaratkan sebagai berikut:
1) Istri itu masih
tetap berada dalam perlindungan kekuatan suami.
2) Kedudukan istri
yang di thalaq itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.
c. Shigot Thalaq ialah kata-kata yang diucapakan oleh suami terhadap
istrinya yang menunjukkan thalaq, baik yang sharih (jelas) maupun yang kinayah
(sindiran), baik berupa ucapan lisan, tulisan, isyaratbagi suami yang tuna
wicara, ataupun dengan suruhan orang lain.
d. Qashdu
(kesenjangan), artinya bahwa
dengan ucapan thalaq itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkan untuk thalaq,
bukan untuk maksud lain.[12]
Nikah
Via Telepon dan Internet.
Adanya sedikit
penjelasan di atas yaitu mengenai pengertian, syarat maupun rukun ijab qabul
yang mana Ijab oleh wali dan qobul oleh calon suami. Berkenaan atas adanya
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihubungkan dengan
pelaksanaan ijab qobul, maka penulis mengangkat permasalahan yang mungkin
terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat yaitu sah atau tidak akad nikah
yang ijab qobulnya dilaksanakan melalui telepon
dan internet
Pada zaman ini, alat ukur sudah berteknologi canggih,
termasuk dibidang komunikasi. Alat – alat itu sudah sangat akrab dengan
kehidupan kita sehari – hari.
Wartel ( warung
Telekomunikasi ) , HP ( Hand Phone ) dan
Warnet ( Warung Internet ) tumbuh bagaikan jamur di musim labuh. Kenyataan
tersebut mengilhami sebagian orang untuk melangsungkan pernikahan lewat telepon
dan internet, karena dipandang lebih praktis apalagi bagi orang yang sangat
sibuk. Namun, memutuskan hukum, tidaklah cukup hanya didasarkan atas
pertimbangan kepraktisan semata. Perlu dipertimbangkan aspek – aspek yang lain.
Sebab menurut ajaran Islam, pernikahan merupakan sebuah prosesi yang sangat
sakral.
Pernikahan merupakan
Mitsaq al-ghalizh ( tali perjanjian yang kuat dan kokoh ), bertujuan mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Dilihat dari fungsinya,
pernikahan merupakan satu – satunya cara yang sah untuk mendapatkan keturunan
dan menyalurkan kebutuhan biologis, di samping meningkatkan ketaqwaan seseorang
kepada Allah SWT.[13]
Menikah bukan sekedar
formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu pernikahan
adalah Syari’atun azhimatun ( Syariat Yang Agung ) yang dimulai sejak Nabi Adam
yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah SWT. Pernikahan adalah sunah
Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul
itu.
Pernikahan merupakan
bentuk ibadah Muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanannya diikat dan diatur
oleh ketentuan syart dan rukun.
Menurut ulama’
Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara
menurut Jumhur al-Ulama’ ( mayoritas pendapat Ulama’ ) ada empat macam meliputi
: Shighat atau ijab qabul, mempelai wanuta, mempelai laki-laki dan wali. Ada
juga yang memasukkan ulama’ yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun,
tetapi jumhur al – ulama’ memendang keduanya sebagai syarat.
Dari ketentuan diatas
kita dapat pahami bahwa ijab dan qabul adalah satu-satunya rukun yang
disepakati oleh senmua ulama’. Meskipun mereka sepakat hal itu namun keduanya,
baik hanafiyah maupun jumhur al – ulama’ memiliki pengertian tentang ijab dan
qabul yang berbeda. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar
pertama kali dari salah satu orang yang melakukan akad, baik itu dari suami
atau istri, sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut
jumhur al-ulama’. Ijab memiliki
pengertian lafald yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau seseorang
yang mewakili wali. Sementara qabul adalah lafal yang keluar dari pihak laki –
laki sebagai petunjuk kesediaan menikah. Jadi menurut Hanafiyah, boleh – boleh
saja ijab itu datang dari mempelai laki-laki yang kemudian dijawab oleh
mempelai perempuan. Berbeda dengan Hanafiyah, jumhur al – ulama’ yang
mengharuskan ijab datang dari wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai
laki – laki.[14]
Melihat kedudukannya
yang demikian, prosesnya tentu agak rumit dan ketat. Berbeda dengan akad jual
beli atau muamalah lainnya, seperti termaktub dalam kitab Tanwir Al – Qulub, At
– Tanbih, dan Kifayah Al – Akhyar, akad pernikahan hanya dianggap sah jika
dihadiri mempelai laki – laki, seorang wali dan di tambah minimal dua orang
saksi yang adil.
Pengertian “ dihadiri “
di sini, mengharuskan mereka secara fisik
( jasadnya ) berada dalam satu majlis. Hal itu untuk mempermudah tugas
saksi dan pencatatan. Sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut
pada saat yang akan tidak mempunyai peluang untuk mengingkarinya.
Karenanya, akad nikah
lewat telepon dan internet tidak mendapat pembenaran dalam fiqih. Sebab tidak
dalam satu majlis dan sangat sulit dibuktikan.[15]
Di masa dulu, akad
nikah ( ijab dan qabul ) barangkali bukanlah sesuatu yang penting dibicarakan
karena mungkin belum ada cara lain selain hadir di majlis yang telah
disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas
aktivitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara
kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus semua batas dunia
dengan alat semacam internet, telepon, faks dan lain – lain. Bagi orang yang
sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu dipandang lebih
praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan prosesi akad nikah dalam hal
ini ijab dan qabul.
Dilihat dari kelazimannya,
penggunaan internet untuk komunikasi adalah menu e-mail dan chating yang secara
esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya
media yang digunakan untuk menulis pesan. Kalau surat ditulis pada kertas dan
memakan waktu yang relative lama untuk sampai tujuan sedangkan e-mail dan
chating menggunakan computer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses
dan dijawab seketika itu oleh orang yang dituju.
Menurut ulama’
Hanafiyah bahwa akad nikah via telepon dan internet itu sah dilakukan karena
mereka menyamakan dengan akad nikah yang dilakukan dengan surat karena surat di
pandang sebagai khitab ( al-khitab min al-ghaib bi manzilah al – khitab min al-hadhir
) dengan syrat dihadiri oleh dua saksi.
Meskipun penggunaan
telephon dan internet untuk melakukan akad nikah jarak jauh ada yang memperbolehkan namun
pendapat itu banyak ditentang oleh jumhur al – ulama’ mengingat pernikahan
memilki nilai yang sangat sacral dan bertujuan mewujudkan rumah tangga
sakinah,mawaddah dan rahmah bahkan tatanan social yang kukuh. Oleh karena itu
pelaksanaan akad nikah harus di hadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal ini mempelai laki –laki,
wali dan minimal dua saksi.
Dengan demikian akad
nikah melalui media komunikasi ( internet, telepon,faks dan lain – lain )
tidaklah sah, karena tidak dalam satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping
itu sesuai dengan pendapat Mlikiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah yang menyatakan
tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah.[16]
DAFTAR
PUSTAKA
Hakim, Abdul Hamid . 1976 . Mabadi Awaliyah . Jakarta : Bulan
Bintang
Saleh, Hassan . 2008 . Kajian
Fiqih Nabawi & Fiqih Kontemporer . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tihami . 2009 . Fiqih
Munakahat . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Rasjid, Sulaiman . 1976 . Fiqh Islam . Jakarta : Attahiriyah.
Azam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwaz . 2009 . Fikih Munakahat . Jakarta :
Amzah.
Abdurrahman . 1996 . Perkawinan Dalam Syari’at
Islam . Jakarta : Rineka Cipta.
Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag . 1985 . Ilmu Fiqh Jilid II .
Jakarta : CV Yulina.
Mahfudh,
Sahal . 2003 . Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh ( Solusi Problematika Umat)
. Surabaya : Ampel Suci.
[1]
Abdul Hamid Hakim. Mabadi
Awaliyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Hlm 12
[2]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), hlm. 362
[3]
Abdul Hamid Hakim. Mabadi
Awaliyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Hlm 12
[4]
H.E. Hassan Saleh. Kajian FIQIH
Nabawi & FIQIH Kontemporer. Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2008. Hlm
300
[5] Tihami, M.A., M.M. FIQIH
MUNAKAHAT. PT. RAJA GRAFINDO PERSADA: Jakarta, 2009. Hlm 13
[6] Tihami, M.A., M.M. FIQIH
MUNAKAHAT. PT. RAJA GRAFINDO PERSADA: Jakarta, 2009. Hlm 13
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta :
Attahiriyah, 1976), hlm. 364
[8]
Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwaz, Fikih Munakahat,(Jakarta
: Amzah, 2009 ),hlm 59-80
[9]
Abdurrahman, Perkawinan Dalam
Syari’at Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 1996),hlm 62-65
[10]
Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Depag, Ilmu Fiqh Jilid II, (Jakarta : CV Yulina, 1985),
hlm. 226-227
[11]
Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1954), hlm.380-381
[12]Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Depag, Ilmu Fiqh Jilid II, (Jakarta : CV Yulina, 1985), hlm.
227-237
[13]
KH. Sahal Mahfudh MA. Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh ( Solusi Problematika
Umat).Surabaya.Ampel Suci.2003.hlm. 235.
[14]
KH. Sahal Mahfudh MA. Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh ( Solusi Problematika
Umat).Surabaya.Ampel Suci.2003.hlm.237 –238.
[15]
Ibid. hlm. 236.
[16]
Ibid. hlm. 238 – 239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar