Selasa, 15 Mei 2012

Memahami Fungsi dan Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqh


PEMBAHASAN
A.    Fiqh
Fiqh ditinjau dari sudut pandang etimologi, secara umum kata fiqh berasal dari bahasa Arab  yang berarti pemahaman terhadap sesuatu. Sedabgkan dari sudut pandang terminologi, Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’ mengenai perbuatan (manusia) yang amali (praktikal) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang rinci yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis.
Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah. Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang hukum-hukum syari'ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci".
B.     Kedudukan Fiqh dalam Pemikiran Islam
Bagi ummat Islam, fiqh adalah perwujudan (embodiement) kehendak Allah terhadap manusia yang berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum-hukum fiqhiyyah dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia adalah manifestasi eksoterik keimanan. Fiqh bukan hanya mengatur hal-hal yang behubungan dengan ritual semata, tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia dari mulai hubungan pribadinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, keluarganya, lingkungan masyarakatnya serta dengan orang yang diluar agama dan negaranya.
Para ‘ulama mendefiniskan fiqh sebagai “pengetahuan tentang hukum syara‘ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia” Definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi objek kajian fiqh adalah perbuatan manusia, mengenai haram atau halal, wajib atau mubah, dan sebagainya. Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh manusia. Karena ia dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran dan kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata Ibn KhaldËn, adalah “domenieering being” yang punya ambisi dan kecendrungan untuk menguasai dan menaklukkan orang lain serta memaksa mereka tunduk dan patuh kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang maka ia akan mencetuskan konflik dan peperangan.
Dalam Islam fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Yang dimaksudkan sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqh berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqh mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubah, makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan harampun tidak bisa sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqh lebih merupakan etika atau moral. Jadi, disini fiqh memainkan fungsi double, sebagai hukum positif dan moral. Aspek inilah yang membedakan secara prinsip konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. Dalam Islam “etika dan agama menyatu dengan aturan-aturan hukum positif.” “the ideal code of behaviour which is the Shar‘ah has in fact a much wider scope and purpose than a simple legal system in the Western sense of them. Jurisprudence … is also a composite science of law and morality”. Mungkin atas sebab inilah Robert Brunschvig menyebut hukum Islam dengan “ethico juridical”. Berbeda dengan di Barat dimana hukum positif tidak mungkin menyatu dengan hukum moralitas, meskipun keduanya menyentuh lahan pembahasan yang sama. Bagi mereka “law that is not humanly enacted and recognized, and whose observance is not ascertainbale by human faculties, is not law.
C.    Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqh
            Adapun tentang kegunaan Ilmu Fiqh, di dalam mukadimahal-Iqna’ karangan asy-Syarbaini al-Khathib disebutkan bahwa fungsi ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan penjelasan di sini, alangkah lebih tepatnya jika ditambahkan “untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata lain Ilmu Fiqh mempunyai kegunaan, yaitu agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan.
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
D.    Keutamaan Mempelajari Ilmu Fiqh
Mempelajari fiqih itu penting sekali bagi setiap muslim. Sehingga untuk hal-hal yang wajib dilakukan, hukumnya pun wajib untuk mempelajarinya. Misalnya kita tahu bahwa shalat 5 waktu itu hukumnya wajib. Maka belajar fiqih shalat itu pun hukumnya wajib juga. Sebab tanpa ilmu fiqih, seseorang tidak mungkin menjalankan shalat dengan benar sebagaimana perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Memang ada sebagian orang yang memandang remeh ilmu fiqih. Seringkali mereka mengatakan bahwa belajar fiqih itu hanya belajar malasah air dan cebok saja. Padahal yang dipelajarinya barulah mukaddimah belaka. Bila ilmu itu diteruskan, maka fiqih itu akan sampai kepada masalah yang aktual seperti urusan politik, mengatur negara dan seterusnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa fiqih itu mencakup semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada tempat berlari dari fiqih.
Beberapa hal yang penting untuk diingat agar kita mengerti betapa pentingnya ilmu fiqih buat umat Islam adalah hal-hal berikut ini :
1.                     Tafaquh fid-dien (memperdalam pemahaman agama) Adalah Perintah Dan Hukumnya Wajib.
2.                  Mempejari Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil baligh.
Ilmu-ilmu ke-Islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui MAU-nya Allah SWT terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah SWT berfirman :
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.” (QS. Ali Imran : 79)
“Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122)
3.                  Syariah Adalah Pengawal Quran & Sunnah
            Ilmu syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu syariah, maka Quran dan Sunnah bisa dipahami dengan benar sebagaimana Rasulullah SAW mengajarkannya.
Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar.
Munculnya beragam aliran yang aneh dan lucu itu lantaran tidak dipahaminya nash-nash Al-Quran dan sunnah dengan benar. Padahal untuk menjalankan Al-Quran dan Sunnah dibutuhkan metode pemahaman yang baik dan benar. Dan metode untuk memahaminya adalah fiqih itu sendiri. Bila dikatakan bahwa orang yang tidak menguasai ilmu fiqih akan cenderung menyelewengkan makna keduanya. Paling tidak akan bertindak parsial, karena hanya menggunakan satu dalil dengan meninggalkan dalil-dalil lainnya.
4.                  Syariah Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam
Dibandingkan dengan masalah aqidah, akhlaq atau pun bidang lainnya, masalah syariah dan fiqih adalah porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu ke-Islaman. Istilah ulama identik dengan ahli syariah ketimbang ahli di bidang lainnya.
Sebab seorang ahli fiqih itu pastilah seorang yang ahli di bidang tafsir, ilmu hadits, ilmu bahasa, ilmu ushul fiqih dan beragam disiplin ilmu lainnya. Di masa lalu kita bisa mendapatkan seorang muhaddits tapi bukan faqih. Namun tidak pernah didapat seorang faqih yang bukan muhaddits.
5.                  Kehancuran Umat Ditandai Dari Hilangnya Ilmu Syariah
            Islam tidak akan hilang dari muka bumi, sebab janji Allah SWT terhadap umat ini sudah pasti. Namun umatnya bisa lemah dan runtuh. Kelemahan itu umumnya terjadi manakala ilmu syariah sudah mulai ditinggalkan. Dan para ulama ulama diwafatkan dan tidak ada lagi ahli syariah yang dilahirkan. Sehingga tidak ada lagi orang yang bisa mengarahkan jalannya umat ini.
Syariah adalah benteng umat. Manakala Allah SWT ingin melemahkan umat ini, maka syariah Islam akan dikurangi. Sebaliknya, bila Allah SWT ingin menguatkan umat ini, maka akan dimulai dengan lahirnya para ulama yang akan mengusung syariah di muka bumi.
6.                  Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif Bila Lemah di Bidang Syariah
            Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat diimunisasi dengan pemahaman syariah Setiap individu muslim pada dasarnya bisa dengan mudah terserang tusukan tajam para orientalis ini. Maka dengan menguasai ilmu-ilmu syariah, diharapkan bisa menjadi penangkal semua racun yang merusak dan mematikan.
            Rata-rata generasi muda cendekiawan Islam yang terpengaruh sihir para orientalis itu disebabkan mereka tidak punya latar belakang keilmuwan yang benar dari sisi syariah Islam. Sehingga begitu berkenalan dengan ragam pemikiran barat yang palsu itu, dengan mudah bisa terpengaruh dan merasa jatuh cinta.
Kalau saja mereka mengenal bagaimana kecanggihan para ulama syariah dari masa ke masa, maka mereka pasti akan memandang bahwa apa yang dituduhkan orientalis barat itu tidak lebih dari lawakan tidak lucu.
7.                  Kelemahan Pergerakan Umumnya Pada Syariah
            Umumnya kelemahan gerakan dakwah adalah kurangnya pemahaman dan aplikasi syariah, baik di jajaran pimpinan atau pun para kadernya. Kelemahan di sisi syariah ini akan melahirkan amat banyak masalah lainnya. Seperti saling tuding antar kelompok sebagai ahli bid`ah, atau saling menjelek-jelekkan satu sama lain.
Paling tidak ada rasa di dalam hati masing-masing kelompok itu bahwa dirinya sajalah yang paling benar. Sementara kelompok lain itu pasti salah, sesat dan harus dijauhi.
            Padahal semua itu tidak perlu terjadi manakala mereka punya pemahaman ilmu-ilmu syariah yang lumayan. Sebab di dalam disiplin ilmu syariah kita diajari bagaimana etika dan aturan dalam berbeda pendapat. Sehingga kalau kita mengetahui saudara kita berbeda pendapat dengan kita, sama sekali tidak pernah merusak persaudaraan dengannya. Apalagi sampai merendahkan atau mnghinanya.
8.                  Amal Sedikit Dengan Ilmu Lebih Utama Dari Amal Banyak Tanpa Ilmu
            Seorang ahli ibadah yang tekun tapi tanpa ilmu syariah jauh lebih rendah derajatnya dari amalan seorang yang mengerti syariah meski tidak terlalu banyak. Sebab ibadah yang banyak bila tidak diiringi dengan ilmu yang benar, bisa jadi malah berdosa. Sebab tidak tertutup kemungkinan dia malah melakukan bid`ah atau hal-hal yang justru terlarang.
            Sebaliknya, meski ibadah seseorang itu tidak terlalu banyak, namun bila dikerjakan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW yang benar, tentu nilainya sangat tinggi di sisi Rasulullah SAW.
            Betapa rugi dan menyesal seseorang yang merasa sudah beramal banyak tapi di akhirat tidak mendapat nilai apa-apa di sisi Allah SWT. Sebab apa yang diamalkannya ternyata tidak diajarkan oleh Nabi SAW.
9.              &nbrp;   Fiqih Adalah Ilmu Yang Siap Pakai
            Berbeda dengan belajar tafsir, hadits, sirah dan ilmu-ilmu lainnya, di dalam fiqih kita dikenalkan dengan cara mengambil kesimpulan hukum dari beragam dalil yang tersedia.
            Ada sekian banyak dalil yang terserak di berbagai literatur. Sehingga tidak mudah bagi seseorang untuk mengumpulkannya menjadi satu. Belum bila dilihat sekilas, mungkin saja masing-masing dalil baik dari Al-Quran dan sunnah berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.
            Disinilah fungsi ilmu fiqih, yaitu merangkum sekian banyak dalil, menelusuri keshahihannya dan mengupas istidlalnya serta memadukan antara satu dalil dengan lainnya menjadi sebuah kesimpulan hukum. Lalu hukum-hukum itu disusun secara rapi dalam tiap bab yang memudahkan seseorang untuk melacaknya. Dan biasanya yang baik adalah dengan mencantumkan juga dalil serta bagaimana istinbat hukumnya.
            Dan lebih penting dari semua itu, apa yang dipersembahkan ilmu fiqih ibarat daftar perintah dan aturan Allah SWT yang sudah rinci nilainya, apakah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
E.     Menerapakan Fungsi Ijtihad
1.      Pengertian Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ". Kepada Ali bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu mencakup dua pengertian :
·         Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
·         Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.

2.      Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
·         Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
·         Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
·         Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
·         Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
·         Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
3.      Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Qur’an.
4.      Contoh Fungsi Ijtihad
·         Menentukan Hukum Perbankan
Bank non-islam ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan maupun lembaga dengan system bunga sedangkan bank islam tidak memakai system bunga.
Dari segi hokum fiqh islam, bank memang talah layak memungut dan menerima pembayaran, karena bank telah melaksanakan pekerjaan/ pelayanan yang diminta oleh nsabahnya, dan nasabahnya telah memperoleh manfaatnya.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misal ibadah haji di Indonesia memakai jasa bank. Namun para ulama dan cendekiawan muslimhingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang hokum bermuamalah dengan bank konvensional dan hokum bunga bank. Perbedaan pendapat mereka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Pendapat Abu Zahrah, guru besar fakulatas hukum  Universitas cairo, abul a’la al-maududi, muhammada Abdullah al-a’rabi, penasihat hukum islamic congress cairo yang menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasi’`h, yang dilarang oleh islam.
2.      Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin pesantren bangil (persis), bahwa bunga bank seperti di negara kita ini adalah bukan riba yang diharamkan, karena tidah bersifat ganda sebagaimana dalam QS. Ali Imron ayat 130.
3.      Pendapat majelis tarjih muhammadiyah di sidoarjo tahun1968 memutuskan bahwa, bunga bank yang diberikan pada nasabah dan sebaliknya, itu merupan syubhat atau musytabihat, artinya belum jelas halal/ haramnya.
Fenomena yang menarik kaitannya dengan ini adalah adanya respon dua organisasi besar Islam Indonesia dalam menyikapi masalah bunga bank tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini telah beredar dalam kalangan umat Islam di antaranya adalah keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo.
Telah menjadi sebuah pertanyaan besar masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga  kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar  NU  II  di Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28. yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a.       Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b.      Halal: sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c.       Syubhat (tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi selisih pendapat.
Mustafa ahmad al- zarqa’, guru besar hukum islam dan hukum perdata Universitas syiria, menyatakan bahwa system perbankan yang kita terima sekarang ini, sebagai realitas yang tak dapat dihindari. Karena itu umat islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional dengan syarat dalam keadaan darurat, dan bersifat sementara. Menurut Prof. Drs. H Masjfuk Zuhdi, alasan ulama dan cendekiawan muslim membolehkan bahkan menganjurkan berdirinya bank islam dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.       Umat islam telah berada dalam keadaan darurat, sebab di zaman sekarang ini umat islam sudah tidak bisa menghindari diri bermuamalah dengan bank dengan system bunga dalam aspek kehidupan, termasuk kehidupan ibadahnya
b.      Untuk menyelamatkan umat islam dari praktek bunga yang mengandung unsure pemerasan
c.       Untuk menyelamatkan ketergantungan umat islam dengan bank non-islam yang menyebabkan umat islam berada dibawah kekuasaan bank
d.      Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, tentang “menghindari perselisihan ulama  itu sunnah hukumya”.
·         Menentukan Hukum Cloning
Menurut syara’ hukum Kloning pada tumbuhan dan hewan tidak apa-apa untuk dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Dari hal itu memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses Kloning guna mencari obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia terutama yang kronis adalah kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah (mandub), sebab berobat hukumnya sunnah. Begitu pula mempro­duksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan pengobatan hukumnya juga sunnah. Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Anas RA yang telah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian !”
Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik RA, yang berkata:
Aku pernah bersama Nabi, lalu datanglah orang-orang Arab Badui. Mereka berkata,’Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat ?”
Maka Nabi SAW menjawab :
Ya. Hai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, sebab sesung­guhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah menciptakan penyakit kecuali menciptakan pula obat baginya…”
Oleh karena itu, dibolehkan memanfaatkan proses Kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi produk­tivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan seperti sapi, domba, onta, kuda, dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses Kloning untuk  mempertinggi produktivi­tas hewan-hewan tersebut dan mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit yang kronis.
Kloning pada manusia haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai berikut :
1.      Anak-anak produk proses Kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan keturunan. Allah SWT berfirman :
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْاُنْثَى مِنْ نُطْفَطٍ إِذَا تُمْنَى
dan Bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, dari air mani apabila dipancarkan.” (QS. An Najm : 45-46)
Allah SWT berfirman :
Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” (QS. Al Qiyaamah : 37-38)
2.      Anak-anak produk Kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan mempunyai ayah. Dan anak produk Kloning tersebut jika dihasilkan dari proses peminda­han sel telur-yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh-ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan mempunyai ibu. Sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi penampung, tidak lebih. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia, sebab dalam kondisi ini tidak terda­pat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَاُنْثَى
Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.” (QS. Al Hujuraat : 13)
3.      Kloning manusia akan menghilang nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriway­atkan dari Ibnu ‘Abbas RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Berdasarkan dalil-dalil itulah proses Kloning manusia diharamkan menurut hukum Islam dan tidak boleh dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar