PEMBAHASAN
A. Fiqh
Fiqh
ditinjau dari sudut pandang etimologi, secara umum kata fiqh
berasal dari bahasa Arab yang berarti pemahaman terhadap sesuatu.
Sedabgkan dari sudut pandang terminologi, Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’
mengenai perbuatan (manusia) yang amali (praktikal) yang diperoleh melalui
dalil-dalilnya yang rinci yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis.
Selain itu fikih
merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah
dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah
maupun dalam muamalah.
Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur,
bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-amaliyyah
al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang hukum-hukum
syari'ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci".
B. Kedudukan
Fiqh dalam Pemikiran Islam
Bagi
ummat Islam, fiqh adalah perwujudan (embodiement) kehendak Allah
terhadap manusia yang berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu, pelaksanaan
hukum-hukum fiqhiyyah dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia
adalah manifestasi eksoterik keimanan. Fiqh bukan hanya mengatur hal-hal yang
behubungan dengan ritual semata, tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia dari
mulai hubungan pribadinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, keluarganya,
lingkungan masyarakatnya serta dengan orang yang diluar agama dan negaranya.
Para
‘ulama mendefiniskan fiqh sebagai “pengetahuan tentang hukum syara‘ praktis
beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan
manusia” Definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi objek kajian fiqh
adalah perbuatan manusia, mengenai haram atau halal, wajib atau mubah, dan
sebagainya. Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh manusia. Karena
ia dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran dan kekacauan. Sebab
manusia pada dasarnya, kata Ibn KhaldËn, adalah “domenieering being”
yang punya ambisi dan kecendrungan untuk menguasai dan menaklukkan orang lain
serta memaksa mereka tunduk dan patuh kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang
maka ia akan mencetuskan konflik dan peperangan.
Dalam
Islam fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua
sebagai standar moral. Yang dimaksudkan sebagai hukum positif disini adalah
bahwa fiqh berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan
manusia. Ia mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi
perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqh mendapat justifikasi dan
legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubah, makruh, bahkan mengenai hukum wajib
dan harampun tidak bisa sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqh
lebih merupakan etika atau moral. Jadi, disini fiqh memainkan fungsi double,
sebagai hukum positif dan moral. Aspek inilah yang membedakan secara prinsip
konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. Dalam Islam “etika dan agama
menyatu dengan aturan-aturan hukum positif.” “the ideal code of
behaviour which is the Shar‘ah has in fact a much wider scope and purpose than
a simple legal system in the Western sense of them. Jurisprudence … is also a
composite science of law and morality”. Mungkin atas sebab inilah
Robert Brunschvig menyebut hukum Islam dengan “ethico juridical”. Berbeda
dengan di Barat dimana hukum positif tidak mungkin menyatu dengan hukum
moralitas, meskipun keduanya menyentuh lahan pembahasan yang sama. Bagi
mereka “law that is not humanly enacted and recognized, and whose
observance is not ascertainbale by human faculties, is not law.”
C. Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqh
Adapun
tentang kegunaan Ilmu Fiqh, di dalam mukadimahal-Iqna’ karangan asy-Syarbaini
al-Khathib disebutkan bahwa fungsi ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan penjelasan di
sini, alangkah lebih tepatnya jika ditambahkan “untuk menghindari kesalahan
dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata
lain Ilmu Fiqh mempunyai kegunaan, yaitu agar kehidupan seorang mukmin berjalan
dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan
selaras dengan tujuan.
Tidak ragu lagi bahwa
kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai
oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan
cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang
hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh
kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka,
maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh
kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
D.
Keutamaan Mempelajari Ilmu Fiqh
Mempelajari
fiqih itu penting sekali bagi setiap muslim. Sehingga untuk hal-hal yang wajib
dilakukan, hukumnya pun wajib untuk mempelajarinya. Misalnya kita tahu bahwa
shalat 5 waktu itu hukumnya wajib. Maka belajar fiqih shalat itu pun hukumnya
wajib juga. Sebab tanpa ilmu fiqih, seseorang tidak mungkin menjalankan shalat
dengan benar sebagaimana perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Memang
ada sebagian orang yang memandang remeh ilmu fiqih. Seringkali mereka
mengatakan bahwa belajar fiqih itu hanya belajar malasah air dan cebok saja.
Padahal yang dipelajarinya barulah mukaddimah belaka. Bila ilmu itu diteruskan,
maka fiqih itu akan sampai kepada masalah yang aktual seperti urusan politik,
mengatur negara dan seterusnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa fiqih itu mencakup
semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada tempat berlari dari fiqih.
Beberapa
hal yang penting untuk diingat agar kita mengerti betapa pentingnya ilmu fiqih
buat umat Islam adalah hal-hal berikut ini :
1.
Tafaquh fid-dien (memperdalam pemahaman agama)
Adalah Perintah Dan Hukumnya Wajib.
2.
Mempejari
Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil baligh.
Ilmu-ilmu
ke-Islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui MAU-nya Allah SWT terhadap
diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah SWT berfirman :
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al
Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi :
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.” (QS. Ali Imran : 79)
“Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS.
At-Taubah : 122)
3.
Syariah Adalah Pengawal Quran & Sunnah
Ilmu
syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap potong ayat dan
hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu syariah, maka Quran dan Sunnah
bisa dipahami dengan benar sebagaimana Rasulullah SAW mengajarkannya.
Sebaliknya, tanpa
penguasaan ilmu syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa diselewengkan dan
dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar.
Munculnya beragam
aliran yang aneh dan lucu itu lantaran tidak dipahaminya nash-nash Al-Quran dan
sunnah dengan benar. Padahal untuk menjalankan Al-Quran dan Sunnah dibutuhkan
metode pemahaman yang baik dan benar. Dan metode untuk memahaminya adalah fiqih
itu sendiri. Bila dikatakan bahwa orang yang tidak menguasai ilmu fiqih akan
cenderung menyelewengkan makna keduanya. Paling tidak akan bertindak parsial,
karena hanya menggunakan satu dalil dengan meninggalkan dalil-dalil lainnya.
4.
Syariah Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam
Dibandingkan dengan
masalah aqidah, akhlaq atau pun bidang lainnya, masalah syariah dan fiqih
adalah porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu ke-Islaman. Istilah ulama
identik dengan ahli syariah ketimbang ahli di bidang lainnya.
Sebab seorang ahli
fiqih itu pastilah seorang yang ahli di bidang tafsir, ilmu hadits, ilmu
bahasa, ilmu ushul fiqih dan beragam disiplin ilmu lainnya. Di masa lalu kita
bisa mendapatkan seorang muhaddits tapi bukan faqih. Namun tidak pernah didapat
seorang faqih yang bukan muhaddits.
5.
Kehancuran Umat Ditandai Dari Hilangnya Ilmu Syariah
Islam
tidak akan hilang dari muka bumi, sebab janji Allah SWT terhadap umat ini sudah
pasti. Namun umatnya bisa lemah dan runtuh. Kelemahan itu umumnya terjadi
manakala ilmu syariah sudah mulai ditinggalkan. Dan para ulama ulama diwafatkan
dan tidak ada lagi ahli syariah yang dilahirkan. Sehingga tidak ada lagi orang
yang bisa mengarahkan jalannya umat ini.
Syariah adalah benteng
umat. Manakala Allah SWT ingin melemahkan umat ini, maka syariah Islam akan
dikurangi. Sebaliknya, bila Allah SWT ingin menguatkan umat ini, maka akan
dimulai dengan lahirnya para ulama yang akan mengusung syariah di muka bumi.
6.
Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif
Bila Lemah di Bidang Syariah
Racun
pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat
diimunisasi dengan pemahaman syariah Setiap individu muslim pada dasarnya bisa
dengan mudah terserang tusukan tajam para orientalis ini. Maka dengan menguasai
ilmu-ilmu syariah, diharapkan bisa menjadi penangkal semua racun yang merusak
dan mematikan.
Rata-rata
generasi muda cendekiawan Islam yang terpengaruh sihir para orientalis itu
disebabkan mereka tidak punya latar belakang keilmuwan yang benar dari sisi
syariah Islam. Sehingga begitu berkenalan dengan ragam pemikiran barat yang
palsu itu, dengan mudah bisa terpengaruh dan merasa jatuh cinta.
Kalau saja mereka
mengenal bagaimana kecanggihan para ulama syariah dari masa ke masa, maka
mereka pasti akan memandang bahwa apa yang dituduhkan orientalis barat itu
tidak lebih dari lawakan tidak lucu.
7.
Kelemahan Pergerakan Umumnya Pada Syariah
Umumnya
kelemahan gerakan dakwah adalah kurangnya pemahaman dan aplikasi syariah, baik
di jajaran pimpinan atau pun para kadernya. Kelemahan di sisi syariah ini akan
melahirkan amat banyak masalah lainnya. Seperti saling tuding antar kelompok
sebagai ahli bid`ah, atau saling menjelek-jelekkan satu sama lain.
Paling tidak ada rasa
di dalam hati masing-masing kelompok itu bahwa dirinya sajalah yang paling
benar. Sementara kelompok lain itu pasti salah, sesat dan harus dijauhi.
Padahal
semua itu tidak perlu terjadi manakala mereka punya pemahaman ilmu-ilmu syariah
yang lumayan. Sebab di dalam disiplin ilmu syariah kita diajari bagaimana etika
dan aturan dalam berbeda pendapat. Sehingga kalau kita mengetahui saudara kita
berbeda pendapat dengan kita, sama sekali tidak pernah merusak persaudaraan
dengannya. Apalagi sampai merendahkan atau mnghinanya.
8.
Amal Sedikit Dengan Ilmu Lebih Utama Dari Amal
Banyak Tanpa Ilmu
Seorang ahli ibadah yang tekun tapi tanpa ilmu syariah jauh lebih rendah derajatnya dari amalan seorang yang mengerti syariah meski tidak terlalu banyak. Sebab ibadah yang banyak bila tidak diiringi dengan ilmu yang benar, bisa jadi malah berdosa. Sebab tidak tertutup kemungkinan dia malah melakukan bid`ah atau hal-hal yang justru terlarang.
Seorang ahli ibadah yang tekun tapi tanpa ilmu syariah jauh lebih rendah derajatnya dari amalan seorang yang mengerti syariah meski tidak terlalu banyak. Sebab ibadah yang banyak bila tidak diiringi dengan ilmu yang benar, bisa jadi malah berdosa. Sebab tidak tertutup kemungkinan dia malah melakukan bid`ah atau hal-hal yang justru terlarang.
Sebaliknya,
meski ibadah seseorang itu tidak terlalu banyak, namun bila dikerjakan sesuai
dengan petunjuk Rasulullah SAW yang benar, tentu nilainya sangat tinggi di sisi
Rasulullah SAW.
Betapa
rugi dan menyesal seseorang yang merasa sudah beramal banyak tapi di akhirat
tidak mendapat nilai apa-apa di sisi Allah SWT. Sebab apa yang diamalkannya
ternyata tidak diajarkan oleh Nabi SAW.
9. &nbrp;
Fiqih Adalah Ilmu Yang Siap Pakai
Berbeda
dengan belajar tafsir, hadits, sirah dan ilmu-ilmu lainnya, di dalam fiqih kita
dikenalkan dengan cara mengambil kesimpulan hukum dari beragam dalil yang tersedia.
Ada
sekian banyak dalil yang terserak di berbagai literatur. Sehingga tidak mudah
bagi seseorang untuk mengumpulkannya menjadi satu. Belum bila dilihat sekilas,
mungkin saja masing-masing dalil baik dari Al-Quran dan sunnah berbeda bahkan
bertentangan satu sama lain.
Disinilah
fungsi ilmu fiqih, yaitu merangkum sekian banyak dalil, menelusuri
keshahihannya dan mengupas istidlalnya serta memadukan antara satu dalil dengan
lainnya menjadi sebuah kesimpulan hukum. Lalu hukum-hukum itu disusun secara
rapi dalam tiap bab yang memudahkan seseorang untuk melacaknya. Dan biasanya
yang baik adalah dengan mencantumkan juga dalil serta bagaimana istinbat
hukumnya.
Dan
lebih penting dari semua itu, apa yang dipersembahkan ilmu fiqih ibarat daftar
perintah dan aturan Allah SWT yang sudah rinci nilainya, apakah menjadi wajib,
sunnah, mubah, makruh atau haram.
E.
Menerapakan Fungsi Ijtihad
1.
Pengertian Ijtihad
Secara bahasa
ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu
penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu
yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah
SAW pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : "
Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan
itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak
menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ". Kepada Ali bin Abi
Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan
ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu
salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal
menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut
berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu mencakup dua
pengertian :
·
Penggunaan
pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit
oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
·
Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan
dari sesuatu ayat atau hadits.
2.
Kedudukan
Ijtihad
Berbeda dengan
al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi
berikut :
·
Pada dasarnya
yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak
absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif.
Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu
ijtihad pun adalah relatif.
·
Sesuatu
keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa /
tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
·
Ijtihad tidak
berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah
hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
·
Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
·
Dalam proses
berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa daripada ajaran Islam.
3.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran
maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran
dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam
dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji
apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al
Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus
mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al
Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka
umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad
adalah mereka yang mengerti dan paham Al Qur’an.
4.
Contoh Fungsi
Ijtihad
·
Menentukan
Hukum Perbankan
Bank non-islam ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan
maupun lembaga dengan system bunga sedangkan bank islam tidak memakai system
bunga.
Dari segi hokum fiqh islam, bank memang talah layak memungut dan
menerima pembayaran, karena bank telah melaksanakan pekerjaan/ pelayanan yang
diminta oleh nsabahnya, dan nasabahnya telah memperoleh manfaatnya.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak
bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai
sistem bunga dalam aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misal
ibadah haji di Indonesia memakai jasa bank. Namun para ulama dan cendekiawan
muslimhingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang hokum bermuamalah dengan
bank konvensional dan hokum bunga bank. Perbedaan pendapat mereka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pendapat Abu
Zahrah, guru besar fakulatas hukum
Universitas cairo, abul a’la al-maududi, muhammada Abdullah al-a’rabi,
penasihat hukum islamic congress cairo yang menyatakan bahwa bunga bank
itu riba nasi’`h, yang dilarang oleh islam.
2.
Pendapat A.
Hasan, pendiri dan pemimpin pesantren bangil (persis), bahwa bunga bank seperti
di negara kita ini adalah bukan riba yang diharamkan, karena tidah bersifat
ganda sebagaimana dalam QS. Ali Imron ayat 130.
3.
Pendapat
majelis tarjih muhammadiyah di sidoarjo tahun1968 memutuskan bahwa, bunga bank
yang diberikan pada nasabah dan sebaliknya, itu merupan syubhat atau
musytabihat, artinya belum jelas halal/ haramnya.
Fenomena yang menarik kaitannya
dengan ini adalah adanya respon dua organisasi besar Islam Indonesia dalam
menyikapi masalah bunga bank tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama melalui Bahsul
Masail-nya dan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih-nya. Salah satu keputusan
hukum tentang bunga bank yang selama ini telah beredar dalam kalangan umat
Islam di antaranya adalah keputusan Mu’tamar NU XII di Malang pada tanggal 12
Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204, dan hasil sidang Majlis
Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo.
Telah menjadi sebuah pertanyaan
besar masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU—terjadilah pembahasan yang
begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam bank, hingga
kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan bunga. Halalkah
bunga itu? Dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam bank karena menjaga
keamanan saja dan tidak menginginkan bunga? Jawaban dari pertanyaan tersebut
diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di
Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28.
yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan hukum
gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut.
Di antara hasil keputusan Mu’tamar
NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga pendapat yaitu:
a. Haram:
sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal:
sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut ahli hukum yang terkenal bahwa
adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat
(tidak tentu haram halalnya): sebab para ahli hukum masih terjadi selisih
pendapat.
Mustafa ahmad al- zarqa’, guru besar hukum islam dan hukum perdata
Universitas syiria, menyatakan bahwa system perbankan yang kita terima sekarang
ini, sebagai realitas yang tak dapat dihindari. Karena itu umat islam boleh
bermuamalah dengan bank konvensional dengan syarat dalam keadaan darurat, dan
bersifat sementara. Menurut Prof. Drs. H Masjfuk Zuhdi, alasan ulama dan
cendekiawan muslim membolehkan bahkan menganjurkan berdirinya bank islam dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a.
Umat islam
telah berada dalam keadaan darurat, sebab di zaman sekarang ini umat islam
sudah tidak bisa menghindari diri bermuamalah dengan bank dengan system bunga
dalam aspek kehidupan, termasuk kehidupan ibadahnya
b.
Untuk
menyelamatkan umat islam dari praktek bunga yang mengandung unsure pemerasan
c.
Untuk
menyelamatkan ketergantungan umat islam dengan bank non-islam yang menyebabkan
umat islam berada dibawah kekuasaan bank
d.
Untuk
mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh, tentang “menghindari perselisihan
ulama itu sunnah hukumya”.
·
Menentukan
Hukum Cloning
Menurut syara’ hukum Kloning pada tumbuhan dan hewan tidak apa-apa
untuk dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Dari hal itu
memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses Kloning guna mencari obat yang
dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia terutama yang kronis adalah
kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah (mandub), sebab berobat
hukumnya sunnah. Begitu pula memproduksi berbagai obat-obatan untuk
kepentingan pengobatan hukumnya juga sunnah. Imam Ahmad telah meriwayatkan
hadits dari Anas RA yang telah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
setiap kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka berobatlah
kalian !”
Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah
meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik RA, yang berkata:
”Aku pernah bersama Nabi, lalu datanglah
orang-orang Arab Badui. Mereka berkata,’Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat
?”
Maka Nabi SAW menjawab :
“Ya. Hai hamba-hamba Allah,
berobatlah kalian, sebab sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah menciptakan
penyakit kecuali menciptakan pula obat baginya…”
Oleh karena
itu, dibolehkan memanfaatkan proses Kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman
dan mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan
seperti sapi, domba, onta, kuda, dan sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan
proses Kloning untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan tersebut dan
mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai penyakit manusia,
terutama penyakit-penyakit yang kronis.
Kloning pada
manusia haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalil-dalil keharamannya adalah
sebagai berikut :
1. Anak-anak
produk proses Kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami.
Padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk manusia
dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak dan
keturunan. Allah SWT berfirman :
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ
الذَّكَرَ وَالْاُنْثَى مِنْ نُطْفَطٍ إِذَا تُمْنَى
“dan
Bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan,
dari air mani apabila dipancarkan.” (QS. An Najm : 45-46)
Allah SWT
berfirman :
“Bukankah
dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu
menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.” (QS. Al Qiyaamah : 37-38)
2. Anak-anak
produk Kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan
mempunyai ayah. Dan anak produk Kloning tersebut jika dihasilkan dari proses
pemindahan sel telur-yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh-ke dalam
rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan mempunyai ibu.
Sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya
menjadi penampung, tidak lebih. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia,
sebab dalam kondisi ini tidak terdapat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan
dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَاُنْثَى
“Hai manusia, sesunguhnya Kami
menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.” (QS. Al
Hujuraat : 13)
3. Kloning
manusia akan menghilang nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan
pemeliharaan nasab. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA, yang mengatakan bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda :
“Siapa saja yang menghubungkan
nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan
(loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah,
para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Berdasarkan dalil-dalil itulah
proses Kloning manusia diharamkan menurut hukum Islam dan tidak boleh
dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar