POLA PEMIKIRAN DAN DASAR-DASAR ISTINBATH HUKUM PARA IMAM
MADZHAB
A. Imam Hanafi
A.I. Asal-usul Madzhab hanafi dan Pola Pemikirannya
Nama madzhab ini diambil dari ulama yang
bernama an-Nu’man bin Tsabit (80-150 H), yang lebih dikenal dengan julukan atau
gelar Imam Abu Hanifah. Ada beberapa riwayat tentang asal usul beliau mendapat
julukan atau gelar tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa nama itu disebabkan
karena salah satu anaknya bernama Abu Hanifah. Ada lagi yang meriwayatkan
karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta untuk menulis dan
mencatat ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya, maka beliau dijuluki dengan
Abu Hanifah karena hanifah dalam bahasa Irak berarti “tinta”. Sementara riwayat
yang lain menyatakan bahwa gelar tersebut diberikan oleh masyarakat karena
ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah kepada Allah, gelar ini diambil dari
bahasa Arab hanif yang berarti yang berpegang teguh pada ajaran yang benar.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota
Kufah, Irak pada tahun 80 Hijriyah. Ayah beliau, Tsabit, adalah pedagang sutera
dari Persia yang juga diwarisi oleh Abu Hanifah. Sebagai pedagang sutera beliau
dikenal sebagai orang yang selalu benar, jujur serta amanah dalam berdagang.
Kendati demikian, Abu Hanifah tetap mempunyai kecenderungan yang tinggi dalam
memperdalam ilmu-ilmu agama. Beliau terkenal sebagai orang yang sangat cerdas,
kecerdasan beliau dapat diketahui dari pengakuan para tokoh dan ulama
semasanya.
Dalam belajar fiqh, beliau belajar
kepada Hammad bin Abi Sulaiman yang merupakan salah satu ulama besar pada saat
itu. Beliau menimba ilmu dari gurunya tersebut selama kurang lebih 18 tahun,
hingga gurunya tersebut meninggal pada tahun 120 H. Beliau juga berguru kepada
‘Atha bin Abi Rabah, Hisyam bin Urwah, Nafi’ Maula bin Umar.
Menurut A. Rahman I. Doi, Abu Hanifah
ini adalah salah seorang tabi’in sebab sempat menyaksikan zaman pada saat
sahabat-sahabat nabi masih hidup. Beberapa sahabat tersebut adalah Anas bin
Malik (w. 93 H), Sahal bin Sa’ad (w. 91 H), Abu Thubail Amir bin Wathilah (w.
100 H) dan Abdullah bin Abi Aufah. Bahkan Abu Hanifah pernah berjumpa dengan
Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
muslim”.
Abu hanifah menjadi ulama terkenal serta
sangat disegani dan banyak orang menuntut ilmu darinya. Di saat Khalifah Abi
Ja’far al-Mansur membangun kota Baghdad, Abu Hanifah diminta oleh oleh khalifah
untuk menjadi qadhi (hakim). Namun permintaan itu ditolaknya sehingga beliau
disiksa dan dipenjara. Imam besar ini akhirnya meninggal dunia di penjara. Dan
menurut salah satu riwayat, beliau meninggal karena diracun oleh khalifah karena
banyak orang yang berkunjung ke penjara untuk menimba ilmu dariya. Beliau
meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H.
A.II.
Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Hanafi
Seperti diakui Muhammad Abu Zahra,
sebagaimana dikutip Mun’im A. Sirry, kesulitan yang terbesar dalam mengkaji
pemikiran Abu Hanifah terletak pada tidak adanya buku-buku yang secara
substansial memuat pemikiran dan metodologi madzhab Hanafi. Yang ada saat ini
adalah berupa periwayatan dari murid-muridnya, seperti yang ditulis Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan al-Syaibani.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama
Ahli Ra’yi. Meskipun Abu Hanifah pernah bermukim di Mekkah dan mempelajari
hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau jumpai, akan
tetapi pengalaman yang beliau peroleh dari luar kufah digunakan untuk
memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara metodologi kajian fiqhnya
mencerminkan aliran Ahli Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan kedua.
Apabila beliau tidak menemukan ketentuan
yang tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat baik dalam bentuk
ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara eksplisit tentang
persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan
istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang
ditaati secara bersama-sama.
Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Aku
mengambil hukum berdasarkan al-Qur’an, apabila tidak saya jumpai dalam
al-Qur’an, maka aku gunakan as-Sunnah dan jika tidak ada dalam kedua-duanya
(al-Qur’an dan as-Sunnah), maka aku dasarkan pada pendapat para sahabat dan aku
tinggalkan apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang kepada pendapat satu
saja.” Beliau juga berkata: “Aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad dan
berpegang kepada kebenaran yang didapat seperti mereka juga.”
Untuk lebih jelasnya, dasar-dasar yang
digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan
urutannya, yaitu:
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah. Kualifikasi as-Sunnah ini harus shahih, mutawatir dan juga dikenal
secara luas (masyhur). Madzhab Hanafi menolak menggunakan hadis uang
diriwayatkan oleh satu orang saja yang disebut hadis ahad.
3.
Perkataan sahabat
4.
Al-Qiyas
5.
Al-Istihsa, yaitu berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat
atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
6.
Al-‘Urf, yaitu tradisi masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau
dengan perkataan lain adalah adat kebiasaan. Tentu saja ‘urf ini harus sejalan
dengan semangat syari’ah, sedangkan ‘urf yang bertentangan dengan jelas ditolak
oleh madzhab Hanafi.
Sebenarnya, menurut Mun’im A. Sirry,
yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan para imam yang lain
adalah terletak pada kegemarannya menyelami semua hukum, mencari tujuan-tujuan
moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyari’atkannya suatu hukum.
Perbedaan lebih tajam lagi, lanjut Mun’im, adalah bahwa Abu Hanifah banyak
mempergunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadis ahad.
Tidak seperti para imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash
dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangkan ‘illat, hikmah, tujuan-tujuan
moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahami.
Contoh produk fiqh Abu Hanifah sebagai
imam ahli fikir (Ahlir Ra’yi), yaitu: “Seseorang ketika di malam yang gelap
atau di saat-saat yang sulit hendak menentukan arah kiblat, maka hukum
shalatnya adalah sah, meskipun didapati ternyata dia tidak menghadap kiblat,
tetapi dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.”
Madzhab Hanafi ini hingga saat ini
berkembang di sebagian besar penduduk Irak, Mesir, Turki, Syiria, Syam hingga
orang-orang muslim India, Pakistan, Afghanistan dan orang-orang muslin Cina.
B. Imam Maliki
B.I. Asal-usul
Madzhab Maliki dan Pola Pemikirannya
Nama madzhab Maliki dinisbatkan dari
seorang ulama yang bernama Imam Malik bin Anas (93-179 H). Beliau lahir di
Madinah dan menjadi ahli fiqh yang terkenal di Madinah. Diriwayatkan bahwa
beliau tidak pernah meninggalkan kota ini kecuali pada waktu melaksanakan
ibadah haji. Mengenai tahun kelahirannya terdapat beberapa perbedaan. Ibnu
Khaliqan mencatat bahwa tahun lahirnya adalah 75 H, sedangkan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa dia lahir 94 H.
Masa muda Malik disibukkan dengan
menuntut ilmu. Mula-mula ia menghafal as-Sunnah, atsar dan fatwa-fatwa sahabat.
Malik bin Anas mulai belajar dan menghafal al-Qur’an dan pada usia yang sangat
muda telah hafal seluruh al-Qur’an. Setelah itu beliau mulai belajar dan
menghafal hadis. Guru beliau dalam hadis antara lain: Ibnu Syihab az-Zuhri,
Ibnu Hurmuz, dan Nafi’. Sementara guru beliau dalam bidang fiqh adalah Rabi’ah
dan Yahya bin Sa’id al-Anshari.
Situasi ketika Malik hidup juga
memberikan pengaruh besar terhadap sikap konsistensinya pada hadis dan keengganannya
pada ijtihad rasio. Selama 40 tahun ia hidup dalam periode Umayyah dan 46 tahun
dalam periode Abbasiyah. Masa-masa ini merupakan orde penuh gejolak dan sarat
gelombang fitnah dan politik. Dalam lapangan politik, misalnya, munculnya
aliran Syi’ah dan Khawarij. Dalam teologi muncul aliran Qadariyah, Jahmiyah dan
Murji’ah. Dalam upaya membela madzhab-madzhabnya, kadang-kadang mereka
menggunakan hadis-hadis nabi secara serampangan. Akibatnya timbul hadis-hadis
palsu dan pertentangan di kalangan masyarakat.
Akibat dari kecerobohan-kecerobohan
terhadap hadis-hadis Nabi itu, Imam Malik merasa perlu untuk meneliti
riwayat-riwayat hadis. Dari sinilah lahir bukunya yang monumental,
¬al-Muwattha’, yang memuat hadis-hadis shahih, perbuatan-perbuatan orang-orang
Madinah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in yang disusun secara sistematis
mengikuti sistematika penulisan fiqh. Keistimewaan buku ini adalah bahwa Imam
Malik memerinci berbagai persoalan dan kaidah-kaidah fiqhiyah yang diambil dari
hadis-hadis dan atsar. Buku yang berjudul al-Muwattha’ dan disusun selama 40
tahun ini bermakna “kemudahan” dan “kesederhanaan”, karena penulisannya yang
diusahakan sebaik mungkin untuk memudahkan dan menyederhanakan kajian-kajian
hadis dan fiqh.
B.II.
Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Maliki
Imam Malik sendiri sebenarnya belum
menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi
pemuka-pemuka madzhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul
sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Malik kemudian menuliskannya.
Dalam Muwattha’, Malik secara jelas menerangkan bahwa dia mengambil “tradisi
orang-orang Madinah” sebagai salah satu sumber hukum setelah al-Qur’an dan
as-Sunnah. Ia juga mengambil hadis munqathi’ dan mursal sepanjang tidak
bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah itu.
Secara lebih jelas dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Maliki adalah sebagai berikut:
Secara lebih jelas dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Maliki adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah. Berbeda dengan
Abu Hanifah yang mensyaratkan dengan kualifikasi tertentu, Imam Malik meski
mengutamakan hadis mutawatir dan masyhur, juga menerima hadis ahad asalkan
tidak bertentangan dengan amal (praktik) ahli Madinah.
3. Amal ahli Madinah (praktik
masyarakat Madinah). Imam Malik berpendapat bahwa Madinah merupakan tempat
Rasulullah menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan
oleh masyarakat Madinah mesti diperbolehkan, atau bahkan dianjurkan oleh Nabi
Saw. Oleh karena itu, Imam Malik beranggapan bahwa praktik masyarakat Madinah
merupakan bentuk as-Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk
tindakan.
4. Fatwa Sahabat.
5. Qiyas
6. Al-Mashlahah Al-Mursalah,
yakni menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang tidak ada petunjuk nyata
dalam nash, dengan pertimbangan kemaslahatan, yang proses analisisnya lebih
banyak ditentukan oleh nalar mujtahidnya.
7. Al-Istihsan
8. Adz-Dzari’ah. yakni Imam
Malik menetapkan hukum dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang
akan timbul dari suatu perbuatan. Jika perbuatan itu akan menimbulkan mafsadah
meski hukum asalnya boleh, maka hukum perbuatan tadi adalah haram. Sebaliknya,
jika akan menimbulkan maslahah, maka hukum perbuatan tadi tetap boleh atau
bahkan dianjurkan atau meningkat menjadi wajib.
Penganut madzhab Maliki ini sampai sekarang banyak pengikutnya dan mereka tersebar di negara-negara, antara lain: Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.
Penganut madzhab Maliki ini sampai sekarang banyak pengikutnya dan mereka tersebar di negara-negara, antara lain: Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.
C. Imam Syafi’i
C.I. Asal-usul
Madzhab Syafi’i dan Pola Pemikirannya
Sebagaimana nama madzhab-madzhab
sebelumnya, nama madzhab ini juga diambil dari nama imam yang menjadi tokoh
utama yang pemikirannya banyak diikuti oleh pengikut madzhab ini. Beliau adalah
Imam Abdullah bin Muhammad bin Idris asy-Syafi’i yang lahir bertepatan dengan
wafatnya Abu Hanifah yaitu 150 Hijriyah di daerah yang bernama Ghazzah, salah
satu kota di daerah Palestina, dan wafat di Mesir tahun 204 H (822). Ayah
beliau meninggal ketika masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya ke
Mekkah.
Dalam usia anak-anak, sekitar 9 tahun,
ia sudah hafal al-Qur’an di luar kepala. Ia juga menghafal hadis-hadis Nabi.
Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang demikian
tinggi ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan (badawah).
Dari sana Imam Syafi’i menguasai sastera Arab untuk memahami teks al-Qur’an dan
hadis dengan baik.
Dalam bidang hadis, di Mekkah ia berguru
kepada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid. Ia menghafal ¬al-Muwattha’
sebelum bertemu penulisnya, Imam Malik. Konon ia menghafalnya hanya dalam waktu
9 hari.
Pada diri asy-Syafi’i terkumpul pemikiran
fiqh fuqaha Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi – seperti dikutip
Mun’im – mengatakan bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya
pernah menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai
persoalan dengannya.
Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik
selama 3 tahun di Hijaz, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana membuat
Imam sy-Syafi’i cenderung pada aliran hadis, bahkan mengaku sebagai pengikut
madzhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke Baghdad, Irak, dan menetap di
sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqh Abu Hanifah dan
pemikiran rasional Ahlur Ra’yu, maka mulailah ia condong pada aliran Ahlur
Ra’yu. Apalagi setelah ia rasakan sendiri tingkat kebudyaan di Irak sebagai
daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah kehidupan berikut
problematikanya yang seringkali tidak ditemukan ketentuan jawabannya dalam
al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua kondisi yang berbeda ini dapat
diikuti dengan cermat sehingga melahirkan suatu sintesa pemikiran fiqh moderat
antara Ahlul Hadis dan fiqh Ahlur Ra’yi. Imam Syafi’i dalam beberapa hal
berbeda pendapat dengan Imam Malik dan juga melakukan koreksi terhadap
pengikut-pengikut madzhab Hanafi. Dari kritik-kritik kedua madzhab itu akhirnya
muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua madzhab tersebut.
Kehidupan sosial masyarakat dan keadaan
zamannya amat memengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan madzhab
fiqhnya. Munculnya apa yang disebut qaul jadid dan qaul qadim membuktikan hal
tersebut. Madzhab qaul qadim dibangun di Irak tahun 195 H. Kedatangan Imam
Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu melibatkan
Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqh rasional. Sedangkan qaul
jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal
mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Lahirnya madzhab jadid ini merupakan
dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan
dan kondisi sosial baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz dan Irak.
C.II.
Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i
Posisi tengah Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar
madzhabnya. Sebagaimana madzhab-madzhab lainnya, Imam Asy-Syafi’i menempatkan
al-Qur’an dalam sumber yang pertama dan utama. Namun baginya, as-Sunnah juga
menempati satu tingkat yang sama dengan al-Qur’an, dan bahkan merupakan satu
kesatuan sumber syari’at Islam. Menurutnya, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal,
menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari al-Qur’an, memerinci
yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang
tidak ada dalam al-Qur’an. Karenanya, Sunnah Nabi Saw. tidak berdiri sendiri,
tetapi punya keterkaitan erat dengan al-Qur’an.
Imam asy-Syafi’i di samping tetap teguh
berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah, juga pada saat yang sama memandang
penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Secara ringkas, dasar-dasar madzhab Syafi’i dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut:
Secara ringkas, dasar-dasar madzhab Syafi’i dalam menentukan hukum adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma’. Imam Syafi’i
berpandangan bahwa kemungkinan ijma’ berarti persamaan faham atau kesepakatan
seluruh ulama atas suatu persoalan pada satu masa merupakan hal yang sulit
terjadi, karena jauhnya jarak dan sulitnya komunikasi di antara para ulama
tersebut. Namun demikian, ia tetap mengakui adanya ijma’ dan memeganginya
sebagai dalil dan mungkin terjadi adalah ijma’ sahabat dalam
persoalan-persoalan tertentu.
4. Perkataan Sahabat
5. Al-Qiyas
6. Al-Istishab, yaitu
membiarkan suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih
diperlukan ketentuannya hingga ada dalil lain yang menggantikannya. Imam
Syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan: “Apabila seseorang melakukan suatu
perjalanan dan ia membawa air, kemudian ia menduga bahwa air tersebut
tercampuri najis, tetapi ia tidak yakin akab terjadinya percampuran tersebut,
maka dalam hal ini air tersebut tetap dihukumi suci, bisa dibuat wudhu’ maupun
diminum, hingga orang tersebut yakin benar bahwa air itu telah tercampuri
najis.”
Pengikut-pengikut madzhab Syaf’i ini di
antaranya di daerah-daerah seperti Mesir, Afrika Timur, Persia dan Malaysia,
Indonesia, Khurasan, Syiria, Armenia, Ceylon, Tiongkok dan Filipina Selatan.
D. Imam Hanbali
D.I. Asal-usul
Madzhab Hanbali dan Pola Pemikirannya
Nama ulama yang dijadikan sebagai nama
madzhab ini adalah Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal. Beliau lahir pada
tanggal 20 bulan Rabi’ul Awwal tahun 146 H di Baghad dan juga wafat di tempat
kelahirannya itu pada tahun 231 H. Imam Ahmad menjadi yatim sejak kecil
sehingga tidak sempat mengenal ayahnya dengan baik.
Ahmad bin Hanbal telah hafal al-Qur’an
pada usia relatif masih muda. Kemudian ia tekun belajar ilmu hadis, bahasa dan
masalah-masalah administrasi. Ia banyak menimba ilmu dari sejumlah ulama dan
fuqaha besar antara lain Abu Yusuf, seorang hakim dan murid Abu Hanifah. Dari
Abu Yusuf ini ia mengenal pelajaran ahli fiqh Ahlur Ra’yi.
Setelah beberapa lama mempelajari fiqh
Ahlur Ra’yi, ia beralih pada kajian-kajian Sunnah yang dipelajarinya dari
Hisyam bin Basyir bin Abi Khazim al-Wasithi (w. 183 H), seorang tokoh ahli
hadis di Baghdad. Selama empat tahun dari gurunya ini ia memperoleh pengetahuan
hadis yang sangat luas dan menulis sekitar 300.000 hadis. Di masjid al-Haram
dan kemudian di Baghdad, ia berguru pada Imam Syafi’i dalam bidang perumusan
dan teknik pengambilan hukum.
Karya Imam Ahmad yang terkenal adalah
al-Musnad yang menghimpun 40.000 buah hadis dari hasil seleksinya terhadap
700.000 hadis. Karyanya ini membuatnya dikenal sebagai ahli hadis. Namun
demikian ia juga telah melahirkan fatwa-fatwa fiqh dan mempunyai teori-teori
kajian fiqh tersendiri, serta memiliki para pengikut yang turut
menyosialisasikan fatwa-fatwa maupun teori-teorinya tersebut, hingga
terbentuklah madzhab Hanbali.
D.II.
Dasar-dasar Istinbath Hukum Madzhab Syafi’i
Dalam memberikan fatwa tentang urusan
dan hukum agama, Imam Ahmad tergolong orang yang sangat hati-hati. Diriwayatkan
beliau tidak akan memberikan jawaban dengan terburu-buru atas persoalan yang
dilontarkan padanya sebelum tahu dan faham dengan benar persoalan tersebut.
Dalam proses kajian hukumnya, Imam Ahmad
menetapkan dan menggunakan dasar-dasarnya sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Perkataan Sahabat
4. Hadis Mursal, yaitu hadis
yang terputus sanadnya di tingkat sahabat atau tabi’in.
5. Al-Qiyas, Imam Ahmad
memiliki banyak murid, di antara mereka adalah: Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
(pengumpul hadis yang terkenal), Yahya bin Adam, Abu Daud, ar-Razi. Sementara
para pengikut madzhab Hanbali yang terkenal adalah: Abu al-Wafa’ ibnu Aqil,
Taqiyuddin ibnu Taimiyyah dan Muhammad ibnu al-Qayyim.
aku suka blog anda
BalasHapusmaksih,,,,
Hapus