2.1 Periodesasi Fiqh Masa Rasulullah
Fase ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW
membawa wahyu berupa Al-quran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada
hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan
tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah di Makah selama 13 tahun
dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Quran yang
merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu
yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Nabinatau yang kemudian
termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan
islam ditetapkan dan ditentukan.
Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi[1]
A. Periode Mekah
Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah
sebagai Rasul samapai beliau hujrah ke Madinah. Periode ini berlangsung selama
13 tahun.
Perundang-undangan hokum Islam atau Fiqh pada periode ini
lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima
hokum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah berhala kepada menyembah
Allah.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk
memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia
atas dua perkara utama:
·
Mengokohkan aqidah yang
benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain,
beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul,takdir Allah dan hari akhir.
·
Membentuk akhlak manusia
agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.
B. Periode Madinah
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari mekkah
hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun.
Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek
hukum-hukum praktikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang
akidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur
tentang kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai
jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.
Secara umum, semua hokum baik yang berupa perintah atau
larangan kepada para mukallaf turun pada fase ini kecuali hanya sedikit,
seperti hokum sholat yang diturunkan pada waktu malam isra’ mi’raj satu tahun
sebelum baginda hijrah ke Madinah, selain yang ini berupa ibadah, muamalah,
junayah, hudud, warisan,wasiat, pernikahan, dan talak semuanya turun pada fase
ini.
2.1.2 Sumber Hukum Pada Periode
Rasulullah
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus,
turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan
hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban
terhadap permintaan fatwa.
Contoh kasus seperti : Larangan menikahi wanita musyrik.
Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada
Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat :
”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita Musyrik sebelum
mereka beriman”. (al-Baqarah : 221)
Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli
(umum), demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang
bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan
kadang-kadang bersifat dhâni yaitu memungkinkan terjadinya beberapa
penafsiran. Bidang hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam
Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan
dengan pernikahan dan warisan.
B. Al-Sunnah
Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam
Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi hukum tertentu,
sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan
dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan
kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab
pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya
Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung
menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan
ayat :
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
(An-Nahl : 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa
yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak
turun, beliau berijtihad dengan berpegang kepada semangat ajaran Islam dan
dengan cara musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya
salah, maka diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti
ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus
tawanan perang Badar (al-Anfal: 67) dan kasus pemberian izin kepada orang yang
tidak turut perang Tabuk (At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh
Allah, maka berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa
hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan
adalah penetapan dari Allah juga.
2.1.3. Ijtihad Pada Mas` Rasulullah
Pada zaman Rasulullah-pun ternyata Ijtihad itu dilakukan
oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan
Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari
cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus
Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja Ijtihad pada zaman Rasulullah
ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah
yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan
oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah,
Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar
bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian berguling-guling dipasir
untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah
menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat
untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh
bagaimana cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para
sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para
ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya
bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada
prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’am dan Al-Sunnah”.
Dapat disimpulkan,
pada zaman Rasulullah, sumber hukum itu adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Keduanya diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam Hadist dinyatakan : ”Aku
tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada
keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
2.2 Periodesasi Fiqh Pada Masa
Sahabat Dan Tabi’in
2.2.1 Fase Sahabat
Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka berarti wahyu yang
diturunkan pun ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh khulafaur Rasydin.
Adapun tugas dari seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan
negara. Oleh karena itu, ia mempunyai beberapa hak, antara lain:
·
Memaklumkan perang dan
membentuk negara
·
Menegakkan keadilan dan
kebenaran
·
Melarang hal-hal yang
tercela yang terdapat dalam al-Quran
·
Mengawasi jalannya
pemerintahan dan memungut pajak
·
Menegaskan soal-soal aqidah
dan hukum yang sudah disepakati[2]
Periodesasi pada masa sahabat ini dimulai sejak wafatnya
Rasulullah dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abu sofyan menjadi khalifah pada
tahun 41 H. Periode ini disebut periode sahabat karena kekuasaan menetapkan
hukum berada di tangan sahabat.
Persoalan
hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk
Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad. Para sahabat memiliki kelebihan dalam memaham i syari’at islam, jadi ijtihad yang mereka lalukan berdasarkan syari’at islam yang mereka pahami. Keistimewaan para sahabat dalam memahami syari’at islam disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya:
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad. Para sahabat memiliki kelebihan dalam memaham i syari’at islam, jadi ijtihad yang mereka lalukan berdasarkan syari’at islam yang mereka pahami. Keistimewaan para sahabat dalam memahami syari’at islam disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya:
·
Para sahabat sangat dekat
dan dan ketika nabi masih hidaup meraka dapat bertemu langsung, sehingga memudahkan bagi mereka untuk mengetahui
asbabun nuzul ayat dan hadist.
·
Mereka memiliki tingkat
pemahaman yang tinggi terhadap bahasa arab.
·
Mereka menghafal Al-Quran
dan As-Sunnah
Namun dari keistimewaan mereka, terdapat perbedaan juga.
Perbedaan tersebut disebabkab oleh beberapa faktor yaitu:
·
Perbedaan tingkat
pemahaman setiap individu terhadap
bahasa.
·
Perbedaan dalam hal
pergaulan dengan Rasulullah sebab bergal
dengan Rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbab nuzul
ayat dan sunnah.
·
Kemampuan tiap individu yan
berbeda. Diantaranya dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengelurkan hukum,
kemampuan menerjemahkan isyarat dan nash-nash syari’at.
Sumber Hukum yang Digunakan
Sahabat
a). Al-quran
Al-Quran adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada Rasulullah dengan lafal dan maknanya. Para sahabat
tidak peranah mendahului al-quran karena ia adalah sumber pertamabagi
pembentukan aqidah islam, akhlak yang mulia, dan hukum-hukum amal perbuatan
termasuk juga bahasa.
Adapun
manhaj para sahabat dalam mengistinbatkan hukum dari Al-quran adalah sebagai
berikut” jika ada masalah yang muncul dan memang sudah ada hukumnya serta
kandungan dalilnya tepat maka mereka akan mengambil ayant ini tanpa
bermusyawarah dengan siapapun dan tidak
ada pebedaan sama sekali diantara meraka. Perbedaan terkadang muncul dalam beberapa
hukum yang diambil dari Al-Quran walaupun tidak ada dalil yang menentangnya.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya nash yang memiliki makna lebih dari satu,
seperti adanya kata mustarrak (beragam makna) yaitu kata yang mengandung dua
makna atau lebih, maupun kata yang bermakna majaz.
Contohnya kata quru
dalam QS.Al- Baqarah :228. Kata tersebut
adalah bentuk jama dari kata qar’un yang bisa diartikan haid dan bisa juga
diartikan suci, penyebab lainnya adalah karena adanya kata yang mengandung kias
pengertian antara hakikat syar’i dan kiasan bahasa.
b). Sunnah
para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada As-sunnah
dalam mengistimbatkan hukum manakala manakala tidak menemukan nash dalam kitab
Allah karena as-sunnah adalah sumber
kedua bagi perundang-undangan islam setelah Al-quran. Menginggat as-sunnah pada
masa itu belum dibukukan, maka yang menjadi rujukan mereka adalah hafalan para
sahabat. Namun para sahabat juga memiliki tingkat kekuatan hafalan, pemahaman
dan keadilan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadist karena takut manusia meninggalkan Al-Quran dan takut
terjatuh dalam dusta kepada Rasulullah, merka tidak menerima suatu hadist
kecuali jika ada yang bersaksi selain yang meriwayatkan.
C). Ijma’
Ijma’ adalah suautu kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi
Muhammad falam sau zaman tentang satu masalah syari’at. Kata mujtahid
mengecualikan kesepakatan yang dilakukan oleh selain mereka. Ijma’ juga harus
berasal dari semua mujtahid, sehingga kesepakatan sebagian ulama’saja tidak
dianggap ijma’. Para ulama berdalil atas keabsahan ijma’sebagai sumber hukum ,
antara lain dengan firman Allah surat An-Nisa’ (4) ayat:115.
Disini Allah mengancam dengan azab yang pedih bagi mereka
yang mengikuti jalan selain jalan orang mukmin dan harus ikut jalan kaum mukmin
dan inilah ijma’.
D). Ra’yi
Ra’yi ( pendapat ) adalah mencurahkan segala upaya dalam
rangka mencari hukum dan mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik
berupa nash dari Al-quran atau sunnah
atau dalil aqli berupa qiyas, maslahat mursalah, urf, atau berupa hal yang
darurat.
Adapun sikap para sahabat terhadap Ra’yi, mereka bukan orang
yang terbiasa menggunakan cara ini, walaupun banya masalah yang mereka hadapi
yang tidak ada nash dari Al-Quran atau As-sunnah. Pada mulanya mereka ragu
untuk menggunakan cara ini, namun
keraguan itu sedikit-demi sedikit hilang terutama ketika mereka bermusyawarah
untuk mengumpulkan Al-Quran. Dan setelah itu mereka baru leluasa menggunakan
cara ini, termasuk ketika mereka menghadapi berbagai permasalahan besar terutama dalam bab fiqh.
Penggunaan istilah ra’yi atau ijtihad tidak populer bagi
semua kalangan sahabat, hanya beberapa orang yang mengenal istilah ini seperti
khulafaur rasydin, Aisyah, Abdullah Bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit. Ada sahabat
yang terkenal memiliki keluasan ilmu dan memberi fatwa, akan tetapi ia tidak
mau memakai ra’yi, bahkan terkadang lebih memilih tidak berfatwa ketika tidak
ada nash dan diantara mereka adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin’Amr bin
Ash. Ada juga sebagian sahabat yang terkenal dengan ra’yi dan menggunakanya,
namun ia mencela ra’yi dan mengingatkan
orang lain agar tidak menggunakannya bahkan Umar dalam suratnya kepada Abu Musa
Al-asy’ari. Ketika ia diangkat menjadi hakim di Basrah agar tidak menggunakan
ra’yi karena lebih baik dan selamat akibatnya. Dan cerita ini dijadikan dalil
oleh mereka yang menolak ra’yi dan mengatakan sahabat menganggapnya
bertentangan dengan syar’at. Inti dari pelarangan dan peringatan ini adalah
karena merasa takut ra’yi digunakan oleh orang yang bukan ahlinya, yang akhirnya
ia sesat dan menyesatkan sehingga perlu di batasi hanya untuk orang yang ahli
ijtihad.
2.2.2 Masa
Tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'-tabi'in dan para imam mujtahid, di
sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin
luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa
Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta
adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai
daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang
timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari
ketetapan hukumnya.
Periode ini
disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih
Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan
hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits
nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat
imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.
A. Metode tabi’in
dalam mengenal hukum
Pada periode ini ialah, “Menerima hukum yang dikumpulkan
oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’
sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai
nash hukum syara’. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama’ Islam banyak
mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh
mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode
penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
B. Metode
mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika
(mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa
mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang
memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki
kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan
tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal
aqly porsi yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al
Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh;
Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
C. Metode Fuqaha
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul
yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau;
mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak
keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai
hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis,
pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang
memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut
mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’.
Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin.
·
Keistimewaan pada masa
tabi’in
Berkembangnya
beberapa pusat studi Islam, menurut Manna' al-Qatthan telah melahirkan dua
tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl
al-Ra'y dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang
tergolong Ahl al-Ra'y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio
(akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahl al-Hadits cenderung memarjinalkan
peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan
keputusan agama.
v
Fiqih sudah sampai pada
titik sempurna pada masa ini.
v
Pada masa ini muncul
ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
v
Madzhab fiqih pada masa ini
sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.
Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya,
dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh
Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian
dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam
Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam
Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada
muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al Jami’ al Kabir yang
dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam
Ahmad.
Peristiwa
pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah
kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan
hukum Islam dengan penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum
Islam pun akhirnya harus puas berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan
dalam aplikasinya, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum
positif. Bahkan, hukum positif yang diberlakukan di Mesir tidak hanya
menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga diterapkan.
2.3 Sejarah pada periode
kemunduran
Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang
berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan).
Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah
perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di
masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak
sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut
diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan
lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang
mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka
telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan
meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap
seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin
terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.
Disamping
kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya
ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
·
Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode
sebelumnya
Dengan
adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk
persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi,
memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada
kitab-kitab yang ada itu.
·
Fanatisme mazhab yang
sempit
Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela
kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat
pengaruh arus keidakstbilan kehidupan politik, dimana frkuensi sikap curiga dan
rasa tidak senang antara seseorang atau antar kelompoknya dengan mnecari-cari
argumentasinya yang pada umumnya apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya
dengan sikap emosinalitas yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam
suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap rasionalitas ilmiah dan
terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.
·
Pengangkatan hakim-hakim
muqallid
Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak
penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertklid. Bila pada
periode sebelumnya para penguasa memilih dan mengangkat hakim-hakim dari
kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil
ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut mazhab
tertentu, termasuk penguasa.
Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang
sudah berlangsung semakin lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh
terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah
ulama’-ulama’ yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka
berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan
hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut
sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan disusunnya kitab Majallat
al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai tahun 1293
H (1869-1876 M).
·
Contoh-contoh ijtihad yang
dilakukan
Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin
luas pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial
politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan
para ulam’nya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut untuk berfatwa dalam
menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya selalu bertambah dari
masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an
atau hadits-hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).
2.4 Masa Kebangkitan Fiqh
Fase ini dimulai dari akhir abad ke-13 H sampai pada hari
ini. Oleh karena itu fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri,
antara lain dapat menghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan
perkembangan zaman, dapat member saham atau masukan dalam menentukan jawaban
bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli,
menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
Indikasi kebangkitan
fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek pertama pembahasan fiqh islam dan kedua
kodefikasi fiqh islam.
1. Pembahasan Fiqh Islam
Pada zaman ini para ulama’ memberikan perhatian yang sangat
besar pada fiqh islam baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga
fiqh islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan ulama’ apabila
kita ingin melihat kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dapat kita rincikan
sebagai berikut:
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzab
utama dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengantetap
mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu madzhan
dengan madzhab yang lain.
·
Memberikan perhatian khusus
terhadap kajian fiqh yang tematik (terperinci).
·
Memberikan perhatian khusus
terhadap kajian fiqh komparasi (perbandingan antara madzhab fiqh islam)
·
Mendirikan lembaga-lembaga
kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh.
2. Kodifikasi Hukum Fiqh
Yang dimaksud dengan kodifikasi adalah upaya mengumpulkan
beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika
ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk pada materi yang sudah disusun dan
pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan .
·
Tujuan dari kodifikasi ini
adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:
Menyatukan semua hokum dalam setiap masalah yang memiliki
kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim member
keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang
tertentu dan tidak boleh dilanggar untuk
menghindari keputusan yang kontra.
Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hokum fiqh dengan
susunan sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan
sesuatu yang baru terjadi selama ini. Upaya tersebuut sudah muncul sejak awal
abad kedua hijriah ketika Ibnu muqofa’menulis surat kepada khalifah Abu jafar
Al-Mansur agar undang-undang Negara diambil dari Al-Quran dan Sunnah dan ketika
tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan
umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar