Selasa, 15 Mei 2012

Periodesasi Perkembangan Fiqh



2.1 Periodesasi Fiqh Masa Rasulullah
Fase ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-quran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah di Makah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Nabinatau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.
Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi[1]
A. Periode Mekah
Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul samapai beliau hujrah ke Madinah. Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hokum Islam atau Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hokum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah berhala kepada menyembah Allah.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia  atas dua perkara utama:
·         Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul,takdir Allah dan hari akhir.
·         Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.
B. Periode Madinah
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun.
Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.
Secara umum, semua hokum baik yang berupa perintah atau larangan kepada para mukallaf turun pada fase ini kecuali hanya sedikit, seperti hokum sholat yang diturunkan pada waktu malam isra’ mi’raj satu tahun sebelum baginda hijrah ke Madinah, selain yang ini berupa ibadah, muamalah, junayah, hudud, warisan,wasiat, pernikahan, dan talak semuanya turun pada fase ini.
2.1.2 Sumber Hukum Pada Periode Rasulullah
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa.
Contoh kasus seperti : Larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat :  
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita Musyrik sebelum mereka beriman”. (al-Baqarah : 221)
Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat  kulli (umum), demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhâni yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
B. Al-Sunnah
Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ayat :  
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (An-Nahl : 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad dengan berpegang kepada semangat ajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (al-Anfal: 67) dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.
 2.1.3. Ijtihad Pada Mas` Rasulullah
Pada zaman Rasulullah-pun ternyata Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh bagaimana cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’am dan Al-Sunnah”.
 Dapat disimpulkan, pada zaman Rasulullah, sumber hukum itu adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Keduanya diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam Hadist dinyatakan : ”Aku tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
2.2 Periodesasi Fiqh Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
2.2.1 Fase Sahabat
Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka berarti wahyu yang diturunkan pun ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh khulafaur Rasydin. Adapun tugas dari seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan negara. Oleh karena itu, ia mempunyai beberapa hak, antara lain:
·         Memaklumkan perang dan membentuk negara
·         Menegakkan keadilan dan kebenaran
·         Melarang hal-hal yang tercela yang terdapat dalam al-Quran
·         Mengawasi jalannya pemerintahan dan memungut pajak
·         Menegaskan soal-soal aqidah dan hukum yang sudah disepakati[2]
Periodesasi pada masa sahabat ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abu sofyan menjadi khalifah pada tahun 41 H. Periode ini disebut periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan sahabat.
            Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad. Para sahabat memiliki kelebihan dalam memaham i syari’at islam, jadi ijtihad yang mereka lalukan berdasarkan syari’at islam yang mereka pahami. Keistimewaan para sahabat dalam memahami syari’at islam disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya:
·         Para sahabat sangat dekat dan dan ketika nabi masih hidaup meraka dapat bertemu langsung, sehingga  memudahkan bagi mereka untuk mengetahui asbabun nuzul ayat dan hadist.
·         Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa arab.
·         Mereka menghafal Al-Quran dan As-Sunnah
Namun dari keistimewaan mereka, terdapat perbedaan juga. Perbedaan tersebut disebabkab oleh beberapa faktor yaitu:
·         Perbedaan tingkat pemahaman  setiap individu terhadap bahasa.
·         Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah sebab  bergal dengan Rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbab nuzul ayat dan sunnah.
·         Kemampuan tiap individu yan berbeda. Diantaranya dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengelurkan hukum, kemampuan menerjemahkan isyarat dan nash-nash syari’at.
Sumber Hukum yang Digunakan Sahabat
a). Al-quran
Al-Quran  adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah dengan lafal dan maknanya. Para sahabat tidak peranah mendahului al-quran karena ia adalah sumber pertamabagi pembentukan aqidah islam, akhlak yang mulia, dan hukum-hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.
            Adapun manhaj para sahabat dalam mengistinbatkan hukum dari Al-quran adalah sebagai berikut” jika ada masalah yang muncul dan memang sudah ada hukumnya serta kandungan dalilnya tepat maka mereka akan mengambil ayant ini tanpa bermusyawarah dengan siapapun  dan tidak ada pebedaan sama sekali diantara meraka. Perbedaan terkadang muncul dalam beberapa hukum yang diambil dari Al-Quran walaupun tidak ada dalil yang menentangnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya nash yang memiliki makna lebih dari satu, seperti adanya kata mustarrak (beragam makna) yaitu kata yang mengandung dua makna atau lebih, maupun kata yang bermakna majaz.
Contohnya  kata quru dalam  QS.Al- Baqarah :228. Kata tersebut adalah bentuk jama dari kata qar’un yang bisa diartikan haid dan bisa juga diartikan suci, penyebab lainnya adalah karena adanya kata yang mengandung kias pengertian antara hakikat syar’i dan kiasan bahasa.
b). Sunnah
para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada As-sunnah dalam mengistimbatkan hukum manakala manakala tidak menemukan nash dalam kitab Allah karena as-sunnah  adalah sumber kedua bagi perundang-undangan islam setelah Al-quran. Menginggat as-sunnah pada masa itu belum dibukukan, maka yang menjadi rujukan mereka adalah hafalan para sahabat. Namun para sahabat juga memiliki tingkat kekuatan hafalan, pemahaman dan keadilan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadist karena takut manusia meninggalkan Al-Quran dan takut terjatuh dalam dusta kepada Rasulullah, merka tidak menerima suatu hadist kecuali jika ada yang bersaksi selain yang meriwayatkan.
C). Ijma’
Ijma’ adalah suautu kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad falam sau zaman tentang satu masalah syari’at. Kata mujtahid mengecualikan kesepakatan yang dilakukan oleh selain mereka. Ijma’ juga harus berasal dari semua mujtahid, sehingga kesepakatan sebagian ulama’saja tidak dianggap ijma’. Para ulama berdalil atas keabsahan ijma’sebagai sumber hukum , antara lain dengan firman Allah surat An-Nisa’ (4) ayat:115.

Disini Allah mengancam dengan azab yang pedih bagi mereka yang mengikuti jalan selain jalan orang mukmin dan harus ikut jalan kaum mukmin dan inilah ijma’.
D). Ra’yi
Ra’yi ( pendapat ) adalah mencurahkan segala upaya dalam rangka mencari hukum dan mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik berupa nash  dari Al-quran atau sunnah atau dalil aqli berupa qiyas, maslahat mursalah, urf, atau berupa hal yang darurat.
Adapun sikap para sahabat terhadap Ra’yi, mereka bukan orang yang terbiasa menggunakan cara ini, walaupun banya masalah yang mereka hadapi yang tidak ada nash dari Al-Quran atau As-sunnah. Pada mulanya mereka ragu untuk menggunakan cara  ini, namun keraguan itu sedikit-demi sedikit hilang terutama ketika mereka bermusyawarah untuk mengumpulkan Al-Quran. Dan setelah itu mereka baru leluasa menggunakan cara ini, termasuk ketika mereka menghadapi berbagai permasalahan besar  terutama dalam bab fiqh.
Penggunaan istilah ra’yi atau ijtihad tidak populer bagi semua kalangan sahabat, hanya beberapa orang yang mengenal istilah ini seperti khulafaur rasydin, Aisyah, Abdullah Bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit. Ada sahabat yang terkenal memiliki keluasan ilmu dan memberi fatwa, akan tetapi ia tidak mau memakai ra’yi, bahkan terkadang lebih memilih tidak berfatwa ketika tidak ada nash dan diantara mereka adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin’Amr bin Ash. Ada juga sebagian sahabat yang terkenal dengan ra’yi dan menggunakanya, namun  ia mencela ra’yi dan mengingatkan orang lain agar tidak menggunakannya bahkan Umar dalam suratnya kepada Abu Musa Al-asy’ari. Ketika ia diangkat menjadi hakim di Basrah agar tidak menggunakan ra’yi karena lebih baik dan selamat akibatnya. Dan cerita ini dijadikan dalil oleh mereka yang menolak ra’yi dan mengatakan sahabat menganggapnya bertentangan dengan syar’at. Inti dari pelarangan dan peringatan ini adalah karena merasa takut ra’yi digunakan oleh orang yang bukan ahlinya, yang akhirnya ia sesat dan menyesatkan sehingga perlu di batasi hanya untuk orang yang ahli ijtihad.
2.2.2 Masa Tabi’in
Pada masa tabi'in, tabi'-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyususnan ushul fiqih.
A. Metode tabi’in dalam mengenal hukum
Pada periode ini ialah, “Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama’ Islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.
Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
B.  Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulma lain. Dianut antara lain oleh; Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syiah.
C.  Metode Fuqaha
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan masail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokkan furu’ yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering pula dipahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakallimin.
·         Keistimewaan pada masa tabi’in
Berkembangnya beberapa pusat studi Islam, menurut Manna' al-Qatthan telah melahirkan dua tradisi besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya adalah tradisi pemikiran Ahl al-Ra'y dan tradisi pemikiran Ahl al-Hadits. Menurutnya, mereka yang tergolong Ahl al-Ra'y dalam menggali ajaran Islam banyak menggunakan rasio (akal). Sedangkan mereka yang tergolong Ahl al-Hadits cenderung memarjinalkan peranan akal dan lebih mengedapankan teks-teks suci dalam pengambilan keputusan agama.
v  Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini.
v  Pada masa ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
v  Madzhab fiqih pada masa ini sudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.
Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam Ahmad.
Peristiwa pemberlakukan hukum di kawasan pemerintahan Islam tidak hanya terjadi di daerah kekuasaan Daulah Utsmaniyyah saja. Di Mesir, tarik menarik antara penerapan hukum Islam dengan penerapan hukum positif (barat) juga terjadi. Dan hukum Islam pun akhirnya harus puas berkiprah hanya pada tingkat wacana. Sedangkan dalam aplikasinya, pemerintah lebih memilih untuk menerapkan sistem hukum positif. Bahkan, hukum positif yang diberlakukan di Mesir tidak hanya menyangkut masalah pidana, namun dalam masalah perdata juga diterapkan.
2.3 Sejarah pada periode kemunduran
Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.
Disamping kondisi sosialpolitik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini kelihatannya ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
·         Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.
·         Fanatisme mazhab yang sempit
Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus keidakstbilan kehidupan politik, dimana frkuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau antar kelompoknya dengan mnecari-cari argumentasinya yang pada umumnya apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.
·         Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih dan mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.
Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).
·         Contoh-contoh ijtihad yang dilakukan
Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulam’nya. Mereka, terutama ulama’-ulama’ dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).
2.4 Masa Kebangkitan Fiqh
Fase ini dimulai dari akhir abad ke-13 H sampai pada hari ini. Oleh karena itu fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat member saham atau masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
 Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek pertama  pembahasan fiqh islam dan kedua kodefikasi fiqh islam.
1. Pembahasan Fiqh Islam
Pada zaman ini para ulama’ memberikan perhatian yang sangat besar pada fiqh islam baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan ulama’ apabila kita ingin melihat kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dapat kita rincikan sebagai berikut:
Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengantetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu madzhan dengan madzhab yang lain.
·         Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang tematik (terperinci).
·         Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi (perbandingan antara madzhab fiqh islam)
·         Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh.
2. Kodifikasi Hukum Fiqh
Yang dimaksud dengan kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk pada materi yang sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan .
·         Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:
Menyatukan semua hokum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim member keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu  dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontra.
Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hokum fiqh dengan susunan sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu yang baru terjadi selama ini. Upaya tersebuut sudah muncul sejak awal abad kedua hijriah ketika Ibnu muqofa’menulis surat kepada khalifah Abu jafar Al-Mansur agar undang-undang Negara diambil dari Al-Quran dan Sunnah dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.


[1] Yaitu priode Mekkah dan Periode Madinah
[2] Ramulyo idris, Asas-asas Hukum Islam.2004.Jakarta.Sinar Grafika.hlm 122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar